Sabtu, 13 Juli 2013

Medan dalam Masa Penjajahan Jepang

 Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapura, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peureulak, Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat di sekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama Kempetai (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut gemeentebestuur oleh Jepang dirobah menjadi Medan Sico (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Di sebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Di kawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.

Masa Penjajahan Jepang di Tanah Karo

  Seperti yang telah diuraikan di depan pada masa pendudukan Jepang, kedudukan kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara tidak mengalami perubahan. Di kresidenan Sumatera Timur masih terdapat pemerintahan raja-raja seperti pemerintahan Zelfbestuur-Landschap di Zaman Belanda. Raja-raja ditugaskan untuk membantu pelaksanaan politik pemerintahan Jepang. Demikian pula di Tanah Karo, pada mulanya kepala pemerintahan Jepang hanya campur tangan jika perlu saja, tetapi akhirnya segenap lapisan dan golongan masyarakat baik raja-raja, pegawai dan rakyat berangsur-angsur menuju kearah kepemimpinan Jepang. Hal itu mengakibatkan kewibawaan masyarakat makin berkurang. Badan-badan yang dibentuk Jepang untuk membantu perang Asia Timur Raya dan badan-badan perwakilan yang dipersiapkan untuk menyambut kemerdekaan Indonesia yang terdiri dari beberapa lapisan dan golongan makin lama kian besar pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat menggantikan pengaruh raja-raja.

Beberapa diantara kebutuhan pemerintahan militer Jepang di Tanah Karo selama ia menduduki daerah itu, 1942-1945, antara lain dapat disebut berikut: 

  1. Pengumpulan keperluan pangan/padi dari penduduk
  2. Pengumpulan sayur-sayuran melalui unit-unit distribusi disetiap desa dengan harga amat murah, malah kalau perlu dibon saja
  3.  Mengambil paksa dengan harga sangat murah hewan peliharaan penduduk seperti ternak babi, ayam, kuda dan lain-lain
  4.  Pengrekrutan anggota masyarakat terutama pemuda untuk diseleksi menjadi anggota Sukarela Gyugun, Heiho, guru sekolah. Juga latihan massal kepada penduduk untuk bersiap menghadapi sekutu Inggris-Amerika (Belanda tidak masuk dalam lingkungan mereka) seperti juga menjadi anggota Keibodan (Kepolisian). Talapeta dan Kyodo Buedan.
  5. Pengambilan seseorang menjadi tenaga kerja paksa/romusa, berdasar instruksi pemerintah militer Jepang, dilakukan oleh para Penghulu Kesain di suatu kampung. Ketika itu anggota Romusha dari Tanah Karo dikirim ke Tanjung Tiram membuat garam. Siapa saja yang menjadi anggota Romusha, sekembalinya dari Tanjung Tiram, badannya persis seperti tengkorak hidup dengan pipi gemuk kena penyakit biri-biri.

      Disebabkan pemerintahan militer Jepang sangat keras apalagi disertai Institusi Kempetai (Polisi Militer) yang luar biasa kejamnya terhadap siapa saja, baik kepada penduduk demikian juga kepada aparatur pemerintahan swapraja entah Sibayak, Raja Urung ataupun Pengulu, dapat dikatakan roda pemerintahan militer Jepang lancar. 
Sebab siapa yang mencoba mengelak dari kebijakan Jepang, pasti Kempetai bertindak habis-habisan. Contohnya dapat dikemukakan antara lain/adalah terhadap Raja Urung Lima Senina Boncar Bangun dan terhadap para tukang sihir, tukang racun (peraji-aji).

     Raja Urung Lima Senina Boncar Bangun, yang menurut laporan bersalah ditahan, lalu disiksa habis-habisan di Kabanjahe, oleh Kempetai Jepang. Diayun, dipukul karet, dipompa dengan air perutnya melalui mulut, lalu diinjak-injak dan lain sebagainya. Menyebabkan Raja Urung yang sudah tua/uzur, meninggal dalam siksaan Kempetai Jepang tahun 1944. 
Para tukang sihir, tukang racun dan pencuri kakap, ditangkapi oleh Kempetai Jepang. Juga disiksa habis-habisan antara lain juga dalam bentuk hukum jari dan kaki dicabuti dengan kakaktua, rokok menyala dimasukkan ke dalam lubang hidung, badan disayat sedikit-sedikit lalu dituang dengan air jeruk dan garam. Para penderita pasti menggelepar, lemas tak sadarkan diri, malah ada yang mati begitu saja.

     Di samping itu, untuk memperkuat pemerintahan Jepang di bidang pertahanan, Jepang membentuk Talapeta (Taman Latihan Pemuda Tani), BOMPA (Badan Untuk Memenangkan Perang Asia Timur Raya), HAIHO (Pasukan Pembantu Tentara Jepang) dan GYUGUN sama dengan PETA di Jawa. Tokoh-tokoh penting disini yang dilatih sebagai Kadet adalah Djamin Ginting, Nelang Sembiring, Bom Ginting Suka, Selamat Ginting, Tampak Sebayang, Nas Sebayang, Bangsi Sermbiring, Pala Bangun, Semin Sinuraya, Basingen Bangun. Kesemua tokoh ini pada tahun 1945 telah menjadi pemimpin-pemimpin pasukan yang menonjol. 
Namun badan-badan ini tidak berumur panjang sebab pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan sekutu setelah sekutu menjatuhkan bom di Hirosima dan Nagasaki. Dan dua hari setelah penyerahan Jepang, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

    Peristiwa yang cukup penting di zaman penjajahan Jepang di Tanah Karo adalah pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat kresidenan Sumatera Timur yang terdiri dari berbagai golongan yang disebut Syu Sangikai di awal 1945.Dari Tanah Karo yang ditunjuk sebagai anggota dewan adalah Djaga Bukit dan Ngerajai Meliala. Dewan ini sempat bersidang beberapa kali di Medan sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu. 

Sebelum itu, pada tanggal 15 Juni 1945 Pemerintah militer Jepang telah mengangkat Ngerajai Meliala sebagai kepala Pemerintahan kerajaan-kerajaan Pribumi di Tanah Karo. Dengan posisi itu, Ngerajai Meliala merupakan kepala Pemerintahan Tanah Karo pertama yang membawahi langsung Pemerintahan Swapraja Pribumi Landschaap (Sibayak) dalam berurusan dengan pemerintahan militer Jepang yang saat itu dipimpin oleh K. Fukuchi di Tanah Karo. 

    Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, jabatan kepala pemerintahan di Tanah Karo masih dipegang oleh Sibayak Ngerajai Meliala. Jabatan itu baru berakhir setelah terjadi Revolusi sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946. Revolusi sosial itu terjadi akibat desakan rakyat terhadap penghapusan sistem pemerintahan Kerajaan Sibayak Sultan yang dipimpin secara terus menerus.sumber: pemkap karo

Jumat, 12 Juli 2013

Veteran Tionghoa yang Terlupakan

KOMPAS - Bercelana rombeng dan kemeja lusuh, seorang kakek tua berdarah Tionghoa duduk di depan rumahnya di kawasan Kedung Waru, Tulungagung, Jawa Timur. Tidak ada yang bisa terbaca dari penampilannya jika dulu kakek tua ini seorang pejuang kemerdekaan.

Ketika berbicara barulah tahu kalau laki-laki itu, Oei Hok San (86), veteran pejuang kemerdekaan 1945. Hok San adalah mantan tentara pelajar di Kediri, Jawa Timur. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana 300 pejuang suku Jawa dan 50 pejuang suku Tionghoa ditembak mati tentara Belanda. Mereka ditembak di dalam dua toko dan sebuah gudang.

Dia pun masih lancar bercerita tentang ayahnya, Oei Djing Swan, yang pernah memerintahkan seorang pejuang bernama Tan Bun Yin membalas dendam kepada seorang mayor Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Mayor itu telah menembak mati dokter Tan Ping Djiang, republiken yang menentang Belanda saat Clash II pada 1949. Tan Ping Djiang memerintahkan komandan Belanda itu agar memberitahu HJ van Mook Indonesia dan Asia sudah merdeka. ”Kasih tahu Van Mook, Belanda silakan mundur dari Indonesia,” kata Hok San menirukan ucapan Tan Ping Djiang.

Perjuangan warga Tionghoa untuk kemerdekaan Indonesia tidak berbeda dengan perjuangan suku-suku yang lain. Semasa perang kemerdekaan 1945-1949 banyak pejuang keturunan Tionghoa yang terlibat dalam pertempuran melawan Belanda di garis depan, garis belakang, ataupun di daerah pendudukan Belanda. Para veteran tersebut ditemui di sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera dan daerah lain di Indonesia.

Keberadaan para tionghoa veteran 45 juga dapat ditemui di ”Kota Pahlawan” Surabaya. Sebut saja Liauw Thian Moek alias Leo Wenas (89) yang tinggal di Jalan Raya Gubeng. Mantan anggota Badan Keamanan Rakyat itu bersemangat menceritakan kisah arek-arek Suroboyo berjuang melawan Inggris-Belanda.

Para pemuda, yang kala itu hampir menghancurkan kekuatan Inggris di Gedung Internatio, harus mundur mengikuti perintah Soekarno yang diminta SEAC (South East Asia Command) untuk menjadi mediator. Namun, gencatan senjata yang hanya berlangsung tiga hari itu digunakan pihak Inggris mundur ke Tanjung Perak, memperkuat diri, dan terjadilah pertempuran berdarah 10 November 1945 dengan korban sekitar 10.000 pemuda-pemudi Indonesia.

”Modal kami hanya bambu runcing, tetapi kami berusaha menjebak serdadu Inggris yang lengah. Pernah satu jip berisi tentara Gurkha terjebak lalu dikerubuti pemuda beramai-ramai. Mereka semua tewas,” kata Liauw.

Tidak kalah seru cerita Letnan Kolonel (Purn) Ong Tjong Bing alias Daya Sabdo Kasworo (90). Dia

ikut merawat korban pertempuran 10 November 1945 yang dibawa ke Malang. Pria asal Desa Kerebet itu mengikuti pendidikan tekniker gigi dan dokter gigi lalu bergabung dengan militer pada 1953 sebagai pegawai sipil. Dia mulai menyandang pangkat militer sebagai kapten pada 1955 di bawah Resimen Infanteri RI-18 Jawa Timur.

Oei Hok San yang kehidupannya sangat miskin tidak mengharapkan tunjangan dan hak-haknya sebagai veteran 45 diberikan negara. ”Saya cuma berpesan agar dibangun monumen untuk menuliskan nama teman-teman pejuang. Kasihan mereka dilupakan begitu saja,” kata Hok San yang kini hidup menggelandang di kelenteng-kelenteng. (Iwan Santosa)
Sumber : Kompas Cetak
Editor : Robert Adhi Ksp

Kamis, 11 Juli 2013

Sumatra Timur Juga mengambil bagian yang besar dalam mempertahankan Kemerdekaan NKRI

Sumatera Utara Pada Masa Revolusi Kemerdekaan

Daerah Sumatera Utara pada masa revolusi kemerdekaan, meliputi tiga buah keresidenan yakni Sumatera Timur, Tapanuli dan Aceh. Wilayah itu memberikan sumbangan penting kepada proses perjalanan sejarah bangsa Indonesia sehingga hari ini. Ada banyak peristiwa yang berlaku di Sumatera Timur dan Tapanuli selama periode revolusi kemerdekaan antara tahun 1945-1949. Oleh karena itu, kita akan batasi untuk membicarakan beberapa peristiwa yang karena substansinya memberikan peranan penting pada proses sejarah nasional Indonesia. Peristiwa yang akan dipaparkan adalah, pembentukan Pemerintahan  Republik Indonesia atau Propinsi Sumatera di Medan dan proses perjuangan menegakkan dan mempertahankannya dari upaya penghancuran yang dilakukan oleh musuh-musuh republik di Sumatera Utara.
Inilah isu penting yang akan dibicarakan untuk memenuhi tuntutan judul yang diberikan panitia kepada penulis. Dari sini kita akan menemukan bagaimanakah peranan Sumatera Utara dalam masa Revolusi Kemerdekaan. Di kawasan Medan, dahulu dikenal dengan Medan Area, sesungguhnya awal dari proses panjang perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Sumatera Utara sehingga meluas ke Tapanuli dan perbatasan Aceh.

Medan Sebagai Pusat Pemerintahan Propinsi Sumatera

Pada tanggal 29 Agustus 1945, Mr.T.M. Hasan dan Dr. Amir  tiba  di Medan. Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945. Mr.T.M Hasan diberikan kekuasaan penuh untuk mengangkat Residen (Kepala Daerah) dan pegawai pemerintah, Dr. Amir dijadikan Wakil Gubernur. Mr. Abbas ditugaskan untuk membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Dewan Perwakilan Daerah di seluruh Sumatera. Di samping itu, PPKI juga menetapkan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara dan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai pengawal republik. Kemudian atas usul Mr.T.M. Hasan dan Dr. Amir, PPKI mengesahkan kota Medan sebagai ibukota Prponsi Sumatera.[1]Sehari kemudian 3 (tiga) wakil Sumatera itu berangkat ke Palembang dengan pesawat tempur Jepang untuk mengimplimentasikan tugas-tugas yang diberikan oleh PPKI bersama-sama dengan M.Syafei dan Adinegoro.
T.M. Hasan sebagai Gubernur Sumatera[2] mencoba merangkul semua golongan masyarakat di Medan, baik dari golongan tokoh pergerakan politik maupun dari tokoh-tokoh kerajaan. Akan tetapi upaya kedua wakil PPKI itu belum membuahkan hasil dan bersamaan dengan itu sampai ke Medan berita-berita tentang datangnya  kapal perang Sekutu di Padang dan Sabang. Di samping itu selang dua hari setelah Mr.T.M.Hasan dan Dr. Amir sampai di Medan, sekelompok kecil pasukan Sekutu lebih dahulu tiba di Medan dibawah pimpinan perwira Belanda, Letnan Brondgeest.[3] Brondgeest dan empat orang lainnya dikirim dari Markas Admiral Mountbattens, Komandan South East Asia Command (SEAC) di Kondy (Cylon) dengan instruksi untuk mengawasi persiapan pendaratan pasukan Sekutu di Medan. Mereka mengorganisasi pembebasan orang-orang Belanda dari kamp tawanan Jepang dan membuat laporan tentang keadaan di Sumatera.
Kondisi itulah yang akhirnya membuat sejumlah tokoh pergerakan yang tergolong dalam panitia penolong Gyugun, Heiho mendesak Mr. T.M.Hasan agar segera bertindak memproklamasikan Republik Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30 september 1945,  700 rakyat berkumpul di Markas Taman Siswa untuk melakukan pertemuan massa Barisan Pemuda Indonesia (B.P.I.).[4]Suasananya sangat tegang, menggambarkan frustasi, kecemasan, dan harapan yang semakin meningkat meliputi kota Medan. Ahmad Tahir dan Sugondo membacakan pidato-pidato pembukaan. Kemudian Mr.T.M.Hasan berbicara, ia menjelaskan tentang peristiwa 17 Agustus 1945 di Jakarta, dan menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan dan pemerintah Republik saat ini sudah ada. Namun demikian ia belum memiliki wewenang untuk membentuk sebuah aparatur pemerintahan karena sampai saat ini konfirmasi secara tertulis tentang pengangkatannya sebagai Gubernur masih belum diterima dari Soekarno.
Setelah menerima konfirmasi resmi mengenai pengangkatannya sebagai Gubernur  tanggal 2 Oktober 1945, Mr.T.M.Hasan kemudian memerintahkan pengibaran bendera merah putih di seluruh Sumatera dan mulai mengeluarkan dekrit[5], sebagai Gubernur. Dekrit itu pula yang menandai secara resmi berdirinya Pemerintahan Republik Indonesia Propinsi Sumatera di Medan. Dekrit No.1-X- tanggal 3 Oktober 1945 itu  dengan resmi mengangkat sepuluh orang Residen Propinsi Sumatera. Sepuluh orang Residen yang diangkat itu adalah sebagai berikut: 1. Dr. Ferdinand Lumbantobing (Residen Tapanuli), 2. Teuku Nyak Arief  (Residen Aceh), 3. Mr. Mohammad Yusuf (Residen Sumatera Timur),  4. Mohammad Safei (Residen Sumatera Barat), 5. Ir.Indra Tjahya (Residen Bengkulu), 6. Dr. A. Syagaf  Yahya (Residen Jambi), 7. Dr. A.K. Gani (Residen Palembang), 8. Mr. Abd. Abbas (Residen Lampung), 9. M.A. Syarif (Residen Bangka dan Belitung), 10. Aminuddin menjadi Residen Riau berkedudukan di Pakan Baru.
Dalam usahanya memperlancar roda pemerintahannya, Mr. T.M. Hasan kemudian melalui dekrit No. 2-X- Tanggal 3 Oktober 1945 mengangkat sepuluh orang penasehat Gubernur. Sepuluh penasehat itu adalah: Tengku Hafas, Residen yang diperbantukan pada Kantor Gubernur, Mas Tahir, Sekretaris Gubernur, dengan beberapa pegawai tinggi yang diperbantukan pada Gubernur Sumatera yakni; Mangaradja Soangkupon, dr. Pirngadi, Mr. T.M. Hanafiah, Abu Bakar Djaar, Raden Mohammad Amrin, Tengku Abdul Hamid, Abdul Xarim M.S., dr. Sahir Nitihardjo.
Di samping itu dengan Dekrit No. 3-X- Tanggal 3 Oktober 1945, Mr. T.M. Hasan juga mengangkat empat Wali Kota untuk empat kota madya di Sumatera yaitu; Mr. Luat Siregar (Medan), Barnawi (Bukit Tinggi), dr. Hakim (Padang), dan Ir. Ibrahim (Palembang).[6] Dalam perkembangan selanjutnya staf Gubernur Sumatera ditambah menjadi 15 orang, yakni:
  1. Mangaraja Soangkupon sebagai Residen diperbantukan pada Gubernur Sumatera
  2. Mas Tahir sebagai Sekretaris Gubernur Sumatera
  3. A. Karim M.S. sebagai Asisten Residen diperbantukan pada Gubernur Sumatera
  4. Mr. T.M. Hanafiah sebagai Kepala Jawatan Kehakiman
  5. R. Muhammad Amrin sebagai Kepala Jawatan Keuangan
  6. Abu Bakar Jaar sebagai Kepala Jawatan Pendidikan
  7. Tengku Abdul Hamid sebagai Kepala Jawatan Kemakmuran
  8. Dr. Tengku Mansur sebagai Kepala Jawatan Kesehatan
  9. Dr. Sahir Nitihardjo sebagai Pegawai Tinggi diperbantukan pada Gubernur Sumatera
10.  Mr. Tengku Zulkarnaen sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Medan
11.  A. Mutholib Moro sebagai Jaksa Tinggi
12.  Dr. R. Pringadi sebagai Pegawai Tinggi diperbantukan pada Gubernur Sumatera merangkap Kepala Rumah Sakit Umum Kota Medan.
13.  Tengku Usman Husin sebagai Juru Bahasa
14.  Tengku Maimun Habsyah sebagai Juru Bahasa
15.  Tuanku Mahmud sebagai Residen diperbantukan pada Gubernur Sumatera sebagai Inspektur memeriksa keadaan pemerintahan[7]
Mengingat di daerah Sumatera Timur terdapat wilayah kerajaan dan statusnya diakui dalam pasal 18 UUD 1945, maka Mr. T.M. Hasan selaku Gubernur Sumatera mengangkat lima orang Wakil Pemerintah untuk kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur sebagaimana disebut dibawah ini;
  1. Tulus, Wakil Pemerintah RI untuk Deli Serdang berkedudukan di Medan
  2. Tengku Amir Hamzah, Wakil Pemerintah RI untuk Langkat berkedudukan di Binjai
  3. Madja Purba, Wakil Pemerintah RI untuk Simalungun berkedudukan di Pematang Siantar
  4. Ngerajai Meliala, Wakil Pemerintah RI untuk Tanah Karo berkedudukan di Kaban Jahe
  5. Tengku Musa, Wakil Pemerintah RI untuk Asahan berkedudukan di Tanjung Balai[8]
Kelima Wakil Pemerintah itu dalam menjalankan urusan pemerintahan sehari-hari melakukan kontak langsung dengan Residen Sumatera Timur di Medan.
Perlu  dijelaskan, bahwa sebagian dari Residen yang diangkat Gubernur Sumatera itu (Aceh, Sumatera Barat, Riau, Palembang, dan Lampung) sudah lebih dahulu melaksanakan tugas di daerahnya masing-masing atas pengangkatan KNI Daerahnya, sebelum keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sumatera. Dr. A.K. Gani dan Mr. Abdul Abbas bahkan sejak tanggal 25 September 1945 telah mendapat surat pengangkatan resmi dari Presiden Sukarno. Namun demikian demi kelengkapan administratif, penetapan Gubernur itu memang masih perlu dikeluarkan. Surat keputusan itu sangat penting sekali dan menjadi landasan kuat untuk bertindak. Semua surat keputusan itu disampaikan melalui telegram.
Setelah itu, Mr. T.M. Hasan menetapkan sebuah gedung yang terletak di Jalan Istana No.15 sebagai Kantor Gubernur Sumatera. Pada tanggal 4 Oktober 1945, pengangkatan para pejabat tinggi Negara Republik Indonesia Propinsi Sumatera itu diumumkan secara resmi melalui harian “Soeloeh Merdeka” dibawah pimpinan Jahya Jacob. Sejalan dengan itu, secara cepat Mr. T.M. Hasan juga memerintahkan mobilisasi umum untuk mengambilalih kekuasaan dari tangan Jepang. Perintah itu dalam satu hari saja telah dilaksanakan secara serentak di segenap penjuru kota Medan. bahkan juga di daerah-daerah lainnya di wilayah Sumatera Timur. Dengan cepat semua jawatan pemerintah,  kepolisian, kantor telepon, telegraf, kereta api, dan lainnya diambilalih dari tangan Pemerintah Militer Jepang. Mr. T.M. Hasan juga memerintahkan pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Sumatera Timur. Dua orang tokoh moderat yaitu, dr. Soenarjo dan dr. Djabangun diangkat sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Dengan demikian sejak tanggal 3 Oktober sampai November 1945, struktur dasar Pemerintahan Republik di Sumatera telah berdiri. Pada tanggal 9 Oktober 1945 diselenggarakan pawai raksasa sebagai sarana untuk menunjukkan kepada dunia (Sekutu dan NICA/Belanda), bahwa Kemerdekaan itu bukan hanya kemauan Sukarno-Hatta saja, tetapi seluruh rakyat. Pada saat itu seluruh jalan-jalan utama di Kota Medan dipenuhi oleh ribuan pendukung Republik yang berbaris ke seluruh penjuru kota menyuarakan dukungan kepada Republik dan Presiden Sukarno. Namun demikian rintangan terhadap pembentukan pemerintahan Republik terus menghadang di depan. Rintangan itu datang dari kekuatan militer Belanda/NICA dan Pasukan Sekutu.
Dalam tahap awal, Mr. T.M. Hasan membuat peraturan tentang pengangkatan pegawai. Pengangkatan pegawai rendah sampai menengah dilakukan oleh Residen, sedangkan dari pegawai menengah ke atas dilakukan oleh Gubernur. Struktur penggajian yang dilakukan oleh Mr. T.M. Hasan pada saat itu masih mengikuti model Belanda, yaitu Gaji Gubernur Rp. 1200, Residen Rp. 800, Bupati Rp. 500, Patih Rp. 400, Wedana Rp. 300, dan Camat Rp. 200 perbulan.[9] Pada masa awal revolusi kemerdekaan di Sumatera, para pegawai negeri banyak membantu proses pengambil alihan pemerintahan dari tangan Jepang. Berkat pengalaman mereka, roda pemerintahan berjalan dengan lancar dan karena itulah proses penyusunan administrasi pemerintahan di Sumatera berjalan baik.
Menyadari bahwa ancaman terhadap Pemerintahan Propinsi Sumatera demikian besar,  maka pada tanggal 7 Oktober 1945, dua hari setelah Presiden Sukarno membubarkan BKR dan memerintahkan pembentukan TKR, Gubernur Sumatera Mr.T.M. Hasan, mengangkat kordinator-kordinator TKR di setiap Residensi.. Sebagai kordinator untuk daerah Sumatera Timur diangkatlah  Abdul Xarim M.S. dan untuk daerah Tapanuli dr. Ferdinand Lumbantobing. Mengingat tugasnya sebagai asisten senior pada kantor Gubernur, maka pada tanggal 9 Oktober 1945, Abdul Xarim M.S. mengangkat Mahruzar (adik kandung Perdana Menteri Sutan Sayhrir) sebagai formatur untuk membentuk organisasi ketenteraan. Pada tanggal 10 Oktober 1945  dalam  pertemuan untuk membentuk TKR Sumatera Timur,  Ahmad Tahir terpilih sebagai Komandan  TKR Sumatera Timur. Sementera TKR Tapanuli dipimpin oleh Pandapotan Sitompul, TKR Aceh dipimpin Syamaun Gaharu, TKR Riau dipimpin oleh Hasan Basri, TKR Sumater Barat dipimpin oleh Dahlan Jambek, TKR Jambi dipimpin oleh Abun Jani, dan TKR Palembang dipimpin oleh Hasan Kasim. Markas Besar TKR Sumatera berkedudukan di Lahat Sumatera Selatan. Sejak bulan Nopember 1945, Dr. A.K. Gani diangkat oleh Markas Besar TKR di Jawa sebagai organisator dan koordinator TKR Sumatera. R. Soehardjo Hardjowardojo diangkat sebagai Kepala Markas Besar TKR Sumatera.[10] Dr. A.K. Gani kemudian mengeluarkan intruksi yang menyatakan bahwa Sumatera dibentuk menjadi enam divisi dibawah Komandan Mayor Jendral Suhardjo Hardjo Wardjojo. Unit-unit TKR Sumatera Timur dan Tapanuli  dijadikan Divisi IV dan VI.[11] Di Medan dibentuk  satu unit polisi militer. Pada tanggal 26 Januari TKR Sumatera diubah namanya menjadi Tentera Republik Indonesia (TRI), sesuai dengan instruksi Pemerintah Republik di Jawa.
Tanggal 12 April 1946 Mr.T.M. Hasan mengangkat 100 anggota Dewan Perwakilan Sumatera (DPS) dan juga mengumumkan nama-nama anggotanya. Diantaranya dua puluh anggota diangkat dari Sumatera Timur dan sebelas dari Tapanuli.[12] Sidang DPS itu akan dilaksanakan di Bukit Tinggti pada tanggal, 17 April 1946. Pada saat itu Mr.T.M. Hasan telah membubarkan Pemerintahan Darurat Militer di Sumatera Timur dan mengangkat Luat Siregar sebagai Residen Sumatera Timur. Pada tanggal 15 April 1946 secara resmi Pusat Pemerintahan Propinsi Sumatera  berkedudukan di Pematang Siantar.
Sehari kemud­ian Abdul Xarim M.S. dan Luat Siregar, dan 18 orang anggo­ta DPR lainnya berangkat juga ke Bukit Tinggi. Sidang DPR segera dibuka pada tanggal 17 April 1946 dan dihadiri oleh seratus anggota. Gubernur Mr. T.M. Hasan dipilih sebagai Ketua Sidang dan pemimpin Partai Sosialis, Dr. Gindo Siregar sebagai Wakil Ketua. Beberapa anggota Dewan Ekseku­tif juga telah dipilih yaitu: Dr. Gindo Siregar dan Dr. Sunaryo (Sumatera Timur), Mr. Rufinus Lumbantobing(Tapanu­li), Soetikno (Aceh), Tjik Wan (Sumatera Selatan), dan Mohammad Nasrun (Sumatera Barat).
Sidang DPS berhasil memutuskan struktur formal Pemer­intahan Republik di Sumatera. Secara mendasar DPS  memutuskan bahwa propinsi dikepalai oleh seorang Gubernur, sub-propinsi dikepalai oleh wakil gubernur (Gubernur muda), karesidenan dikepalai oleh seorang residen. Kabupaten dikepalai oleh seorang bupati, kawedanaan oleh seorang Wedana, dan Kecamatan oleh seorang Camat dan dibawahnya terdapat para Kepala Nagari, Huta, Kampung, desa  dan sebagainya. Di samping itu diputuskan juga undang-undang tentang pembentukan departemen-departemen pemerintahan yang bertu­gas menangani masalah keuangan, kesejahteraan sosial, kesehatan, komunikasi, agama, penerangan, keamanan dan pertahanan. Setiap departemen memiliki cabang-cabangnya di tingkat residensi. Sidang DPR itu juga berhasil memutuskan sebuah departemen khusus untuk menangani masalah perkem­bangan ekonomi, pendidikan, dan perkebunan.
Keputusan penting dari Sidang DPS itu adalah pemba­gian Sumatera dalam tiga sub propinsi (daerah administra­tif), yaitu Sumatera Utara (Residensi Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli), Sumatera Tengah (Residensi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi), dan Sumatera Selatan(Residensi Palembang, Bengkulu, Lampung, dan Bangka/Belitung). Tiap-tiap propinsi merupakan daerah administratif yang tidak memiliki kekuasaan otonomi atau lembaga pemerintahan dan dikepalai oleh seorang Gubernur Muda. Gubernur Muda ber­tanggung jawab untuk mengkoordinasikan berbagai pemerinta­han residensi di wilayahnya.[13]
Sidang DPS Sumatera ditutup pada tanggal 19 April, Mr. T.M. Hasan kemudian kembali ke Pematang Siantar. Pelaksaan keputusan Sidang DPR bukanlah pekerjaan mudah. Baru pada bulan Mei dapat dibentuk Departemen Perkebunan, Penerangan, dan Ekonomi. Pada awal bulan July menyusul dibentuk Dewan Penasehat Pemerintah untuk masalah Perkebu­nan dan Perkembangan Ekonomi. Dewan ini dipimpin oleh Ir. Indratjaya, dan Dr. Gindo Siregar. Dewan itu ditugaskan untuk mengawasi aktivitas ekonomi pemerintah di Sumatera, termasuk mengoperasikan tambang minyak di Pangkalan Beran­dan dan Pangkalan Susu, mengontrol pajak dan sirkulasi mata uang dan perdagangan. Pada bulan Agustus departemen-departemen lainnya juga dibentuk yaitu, Kesehatan, Pendid­ikan, Agama, Pertahanan. [14]
Pemerintah Negara Republik Indonesia Propinsi Sumat­era berusaha terus untuk merehabilitasi perekonomian yang telah hancur pada masa Jepang. Sejak pertengahan tahun 1946, keadaan makanan dan pakaian penduduk tekah mengalami perbaikan. Pendudukan yang berpakaian goni sudah hampir tidak ada lagi. Di samping itu, perekonomian rakyat di­bimbing oleh pemerintah dengan cara koperasi. Salah satu usaha kearah ini adalah pemerintah telah berusaha memper­banyak penanaman padi, membuat irigasi, mendistribusikan tanah, dan memasukkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari luar negeri dengan cara barter dengan hasil bumi Indone­sia. Di bidang sosial pemerintah telah membentuk sebuah panitia pengurus romusya dan orang-orang miskin yang kemudian bekerjasama dengan Jawatan Agama.[15]
Dalam bidang keuangan Pemerintah Republik mengalami kesulitan, sebab secara resmi sampai tahun 1946 belum memiliki mata uang sendiri. Di Sumatera yang beredar adalah mata uang Jepang. Dalam peredarannya mata uang Jepang terlalu banyak di masyarakat, sehingga nilai terus merosot. Sebaliknya harga-harga barang terus melambung tinggi. Penyebab inflasi mata uang Jepang itu teranyata adalah ulah pemerintah Belanda. Diketahui umum bahwa Pemerintah Inggris di Singapura telah mendapatkan klise untuk mencetak uang itu dan kemudian alat-alat itu jatuh ke tangan Belanda. Dengan alat itu akhirnya Belanda dapat menyebarkan uang palsu ke daerah republik.[16] Untuk mengatasi masalah itu maka Mr. T.M. Hasan mengeluarkan Maklumat No,20 /mgs Tanggal 2 Desember 1946 yang mengumumkan berlakunya Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai alat tukar yang syah dengan kurs satu rupiah ORI sama dengan seratus rupiah uang Jepang.
Namun demikian hal ini ternyata belum bisa mengatasi persoalan keuangan pemerintah propinsi Sumatera. Pada awal 1947 anggaran  belanja untuk gaji pegawai dan biaya perjuangan sudah tidak terpenuhi. Kas negara belum cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja pemerintah. Upaya meminta bantuan ke Pemerintah Pusat untuk mengirimkan ORI juga tidak berhasil. Akibatnya Mr. T.M.Hasan selaku Gubernur Sumatera dan Wakil Pemerintah Pusat di Sumatera meminta pertimbangan Menteri Keuangan RI, Mr. Syafruddin Prawiranegara agar Pemerintah Propinsi Sumatera dapat mencetak uang sendiri. Syafruddin menjawab, Sumatera mencetak promessesaja , bukan uang tapi “surat janji”. Hasan memandang uang kertas lebih efektif daripada promesse Atas pertimbangan itu, maka  Mr. T.M. Hasan  memutuskan untuk mencetak uang kertas URIPS (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera) dan diberlakukan pada tanggal 8 April 1947 melalui Maklumat No. 92/KO. URIPS ditandatangani oleh Kepala Jawatan Keuangan Propinsi Sumatera  dan Direktur Bank Negara Indonesia di Pematang Siantar. Harga satu rupiah URIPS sama dengan satu rupaih ORI dan seratus rupiah uang Jepang.  Mr. T.M. Hasan kemudian menetapkan Bank Negara Indonesa sebagai  Bank milik pemerinatah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1946.[17] Masalah keuangan sebagai penggerak roda pemerintahan dan perjuangan akhirnya dapat diatasi oleh Mr. T. M. Hasan. Upaya selanjutnya adalah mencari Sumber Daya Manusia yang handal untuk mendukung kinerja Jawatan Keuangan Propinsi yakni dengan mencari ahli percetakan uang, ahli keuangan, ahli bank, dan ahli pegadaian. Termasuk dalam rangka itulah Mr. T. M. Hasan dan R.M. Amrin melawat ke Sumatera Selatan.
Setelah Pematang Siantar diduduki pasukan Belanda dalam Agresi bulan Juli 1947, ibukota Pemerintahan Propinsi Sumatera dipindahkan ke Bukit Tinggi. Setelah itu Pemerintah Propinsi Sumatera direorganisir  kembali dengan kebutuhan perjuangan melawan Belanda dan efektifitas roda pemerintahan di Sumatera. Untuk itu sejak tangal 1 Juni 1948, Sumatera dijadikan 3 Propinsi, yakni Sumatera Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Mr. T. M. Hasan diberhentikan dengan hormat sebagai Gubernur Sumatera dan kemudian diangkat menjadi Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera.

Medan Area[18]: Perjuangan Awal Mempertahankan Proklamasi

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, maka tentara ke-14 SEAC yang berada dibawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Miles Demsey ditugaskan untuk menduduki daerah Malaya, Singapura, Sumatera dan Jawa.. Tentara Sekutu yang ditugasi menduduki Jawa dan Sumatera diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), yang dikepalai oleh letnan Jenderal Sir Philip Christison berkedudukan di Jakarta. Penda­ratan tentara Sekutu di pelabuhan Belawan Medan berlangsung pada tanggal 10 Oktober 1945.[19] Kedatangan Brigade-4 Divisi India ke-26 dibawah pimpinan TED Kelly, diikuti pula oleh para pembesar NICA. Upacara penyerahan serah terima kekuasaan dilakukan pihak Jepang diwakili oleh Jender­al Sawamura se­dangkan pihak Sekutu diwakili oleh Brigadir Jenderal TED Kelly.. Setelah selesai serah terima kekuasaan, tentara Sekutu langsung berangkat ke Medan. Mereka ditempatkan pada tempat-tempat yang telah dipersiapkan oleh Letnan Brondgeest yang telah hadir di kota Medan, di beberapa tempat seper­ti di Hotel de Boer (Dharma Deli), Grand Hotel (Granada), Hotel Astoria (Angkasa), Gedung NHM (Nederlands Handels Maatschappij), dan lain-lain. Beberapa hari kemudian, kompi Batalyon-6/SWB pindah ke Brastagi dan menempati gedung Plantersschool (bekas tempat tawanan sipil Belanda) masa pendudukan tentara Jepang.
Belanda kemudian melakukan manuver baik secara politik dan militer dengan melakukan perun­dingan rahasia dengan pejabat-pejabat tinggi sipil dan militer Inggris yang terdiri dari Panglima SEAC Laksamana Mountbatten, Panglima AFNEI Letnan Jenderal Christison, Menteri Penerangan Lawson dan Penasehat Politik M.E Dening, yang berlangsung di Singapura.[20]Di Medan, Brigjend TED Kelly  tanggal 18 Oktober 1945 kemudian mengeluarkan maklumat yang berisikan larangan memegang senjata kepada bangsa Indonesia dan harus menyer­ahkannya kepada tentara Sekutu.
Maklumat itu  menimbulkan kecurigaan bangsa Indonesia terhadap tentara Inggris  dan menyakinkan para pemim­pin Indonesia bahwa Inggris pada hakekatnya sebagai tenta­ra kolonial yang membantu Belanda menjajah kembali Indone­sia. Kecurigaan menjadi nyata setelah mereka melakukan propokatif dan teror terhadap bangsa Indonesia setelah berada di kota Medan. Hilangnya simpati dan timbulnya rasa kebencian terhadap tentara Inggris menjadi besar setelah mendapat berita tentang pertempuran 10 Nopember 1945 di kota Surabaya. Perasaan permusuhan semakin memuncak dan tajam, sehingga melahirkan sikap dan tindakan permusuhan dari golongan pemuda terhadap tentara Inggris.
Di kota Medan, Inggris memperkuat kedudukan dengan menentukan batas-batas daerah kekuasaannya. Sejak tanggal 1 Desember 1945 diberbagai sudut kota Medan di daerah kekuasaan Inggris, terpampang tulisan Fixed Boundaries, dan daerah inilah kemudian terkenal menjadi Medan Area.[21]Peristiwa yang terjadi telah membuat keadaan semakin tegang, dan permusuhan antara tentara Inggris dengan pemuda Indonesia tidak dapat didamaikan, sehingga terjadi insiden-insiden yang temponya lebih cepat dan lebih besar.
Berdasarkan kondisi-kondisi itu tidak mengherankan apabila pada tanggal 14 Oktober 1945, baru empat hari setelah pasukan Inggris sampai di Medan, meledak suatu konflik bersenjata antara para pemuda revolusioner dengan pasukan NICA-Belanda. Peristiwa itu terjadi akibat adanya provokasi langsung seorang serdadu Belanda yang bertindak merampas lencana merah putih yang tersemat di peci seorang penggalas pisang yang melintas di depan Asrama Pension Wilhelmina. Ratusan pemuda yang berada ditempat itu meny­erang serdadu itu dengan senjata pedang, pisau, bambu runcing, dan beberapa senjata api. Dalam peristiwa itu timbul korban sebagai berikut : 1 (satu) orang opsir  yaitu Letnan Goeneberg dan 7 (tujuh) orang serdadu KNIL meninggal. Beberapa warga negara Swiss luka dan meninggal, dan 96 orang serdadu KNIL luka-luka termasuk seorang laki-laki sipil dan 3 (tiga) orang wani­ta. Di pihak Indonesia gugur 1 (satu) orang dan luka berat satu orang.[22]
Peristiwa Jalan Bali itu segera tersiar ke luruh pelosok kota Medan, bahkan ke seluruh daerah Sumatera Utara dan  menjadi sinyal bagi kebanyakan pemuda, bahwa perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai. Darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus ditumpahkan demi Revolusi Nasional. Akibatnya dengan cepat bergelora semangat anti Belanda di seluruh Sumatera Timur. Diantara pemuda itu adalah Bedjo, salah seorang pemimpin lasy­kar rakyat di Pulo Brayan. Bedjo bersama pasukan selikur­nya pada tanggal 16 Okto­ber 1945, tengah hari setelah sehari sebelumnya terjadi peristiwa Siantar Hotel,[23] menyerang gudang senjata Jepang di Pulo Brayan untuk memperkuat persenjataan. Setelah melakukan serangan terhadap gudang perbekalan tentara Jepang, Bedjo dan pasukannya kemudian menyerang Markas Tentara Belanda di Glugur Hong dan Halvetia, Pulo Brayan. Dalam pertempuran yang berlangsung malam hari, pasukan Bedjo yang menyerang Helvetia berhasil menewaskan 5 (lima) orang serdadu KNIL.[24] Serangan yang dilakukan oleh para pemuda di Jalan Bali dan Bedjo itu telah menyentakkan pihak Sekutu (Inggris). Mereka mulai sadar bahwa para pemuda-pemuda Republik telah memiliki persenjataan dan semangat kemerdekaan yang pantas diperhi­tungkan.
Oleh karena itu sebagai tentara yang ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Komandan Inggris Brigadir Jenderal TED Kelly pada tanggal 18 Oktober 1945 mengeluar­kan sebuah ultimatum yang berbunyi seba­gai berikut, bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan Lasykar rakyat, dan harus meny­erahkan semua daftar senjata api yang dimilikinya kepada Sekutu.[25] Pada tanggal 23 Oktober 1945, pasukan Inggris kemudian melakukan penggerebekan di dalam kota Medan dan sekitarnya. Dalam penggerebekan itu mereka berhasil menda­patkan 3 pistol, 1 senapan, 1 granat kosong, 2 ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan, 3 senapan tiga kaki, 36 pedang, 10 pisau, 4 denator listrik, dan 6 tombak.[26]
Sejak tentara Inggris melakukan razia di sekitar Medan, kecurigaan masyarakat terhadap Inggris bertambah besar. Patroli tentera Inggris  sampai ke Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung Morawa, Saentis, bahkan ada serda­du-serdadu dan perwira Inggris yang berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan dan Belawan. Di samping itu Komandan Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral Chambers, menegaskan bahwa Pasukan Jepang diberikan kekuasaan untuk mengamankan daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit Tinggi, dan Palembang. Kondisi itu akhirnya menimbulkan konflik ber­senjata dengan para pemuda Republik baik yang bergabung dengan TKR maupun dengan Lasykar Rakyat.
Demikianlah pada tanggal 2 Desember 1945, dua orang serdadu Inggris yang sedang mencuci trucknya di Sungai dekat Kampung Sungai Sengkol telah diserang oleh TKR. Kedua serdadu Inggris itu tewas, dua buah senjata dan trucknya dirampas. Dua hari kumudian, seorang perwira Inggris tewas terbunuh  di sekitar Saentis. Akibatnya pasukan Inggris terus melakukan patroli di sekitar Medan, dan mereka mulai bertindak kasar. Pada tanggal 6 Desember 1945, tentera Inggris datang mengepung Gedung Bioskop Oranye di Kota Medan. Mereka kemudian merampas semua filem di gedung tersebut. Tindakan tentera Inggris itu menyebab­kan para pemuda segera mengepung gedung bioskop itu, sehingga timbullah pertempuran kecil, yang berakhir dengan tewasnya seorang tentera Inggris.[27]
Beberapa jam setelah peristiwa “Oranje Bioscop”, markas Pesindo di Jalan Istana dan markas Pasukan Pengawal Pesindo di sekolah Derma dirazia oleh tentera Inggris. Di sepanjang Jalan Mahkamah dan Jalan Raja, tentera Inggris melakukan show of force. Tidak lama sesu­dah itu, markas TKR di bekas restoran Termeulen diobrak-abrik dan penghuninya diusir oleh tentera Inggris. Pada malam harinya para pemuda dan anggota TKR menyerang gedung itu dengan granat botol, sehingga gedung itu terbakar. Pada tanggal 7, 8, dan 9 Desember 1945, siang dan malam hari di mana-mana asrama tentara India-Inggris/NICA diserang oleh pemuda dan TKR. Akibat serangan itu tentara Inggris/NICA  pada tanggal 10 Desember 1945 menyerang markas TKR di Deli Tua (Two Rivers). Tiga hari kemudian, Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly kembali mengeluarkan Maklumat yang meminta agar Bangsa Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada tentara Sekutu dan barang siapa memegang senjata di dalam kota Medan dan 8,5 Km dari batas kota Medan dan Belawan akan ditembak mati.
Untuk menindaklanjuti intruksi itu pada bulan Maret 1946 pasukan Sekutu/Inggris kembali melakukan razia ke basis-basis lasykar rakyat di sekitar Tanjung Morawa. Barisan Pelopor dan Lasykar Napindo yang berada berada di daerah ini kemudian mencegat pasukan Inggris sehingga terjadi baku tembak. Pertempuran kemudian berkobar selama dua hari  dan akhirnya pasukan Inggris menarik pasukannya dari Tanjung Morawa. Namun demikian pasukan sekutu terus melakukan razia di dalam kota. Akibatnya pada pertengahan April 1946, Markas Divisi IV berserta seluruh stafnya dan Kantor Gubernur Sumatera dan semua jawatan-jawatannya pindah ke Pematang Siantar.
Sejak pindahnya Komando Militer dan Pemerintahan Republik ke Pematang Siantar pasukan Inggris setiap hari melancarkan serangan ke kubu-kubu TRI dan Lasykar Rakyat di sekitar Medan Area. Pada akhir bulan Mei, selama satu minggu mereka menggempur habis kampung-kampung di sekitar kota Medan. Akibat serangan itu tentu saja membuat penduduk sipil mengungsi ke luar kota, seper­ti ke Tanjung Morawa, Pancur Batu, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan sebagainya. Kampung-kampung seperti Sidodadi, Tempel, Sukaramai, Jalan Antara, Jl. Japaris, Kota Maksum, Kampung Masdjid, Kampung Aur, Sukaraja, Sungai Mati, Kampung Baru, Padang Bulan, Petisah Darat, Petisah Pajak Bundar, Kampung Sekip, Glugur, dan sebagai­nya menjadi sepi.[28]Meskipun demikian Inggris tidak leluasa bergerak ke luar kota, karena lasykar rakyat dan TRI siap menghadangnya.
Sampai akhir bulan Juli 1946 pasukan republik yang bertempur di Medan Area bergerak tanpa komando. Karena itu pada bulan  Agustus 1946 dibentuklah Komando Resimen Lasykar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip Xarim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum. KRLMA membawahi lasykar Napindo, Pesindo, Barisan Merah, Hisbullah, dan Pemuda Parkindo. Setiap pasukan disusun dalam formasi batalion yang terdiri dari empat kompi.  Medan Area dibagi dalam empat sektor dan tiap sektor terdiri atas dua sub-sektor. Markas Komando ditempatkan di Two Rivers (Treves).
Dalam pada itu Belanda mulai mengarah­kan kekuatan militernya ke Sumatera dalam rangka mengaman­kan sumber ekonomi yang vital di Sumatera Timur. Untuk  itu, maka pada awal bulan Oktober 1946 satu batalion pasukan bersen­jata dari negeri Belanda mendarat di Medan. Beberapa hari kemudian diikuti dengan satu batalion KNIL dari Jawa Barat. Gerakan militer pasukan Belanda ini tidak bisa dilepaskan dengan adanya rencana Inggris yang ingin sece­patnya meninggalkan Indonesia.[29] Semua instasi penting yang ada di Medan Area segera diserahkan kepada Komandan Mili­ter Belanda. Pasukan Belanda kemudian mengambil alih semua tugas penyerangan terhadap pangkalan militer Republik di sekitar Medan Area. Unit-unit militer Republik, baik TRI maupun lasykar rakyat segera bereaksi menanggapi pengambi­lalihan Belanda dan mulai meningkatkan serangannya terha­dap patroli-patroli Belanda maupun Inggris. Hingga akhir tahun 1946, berbagai bentrokan fisik antara kekuatan militer Republik dengan Belanda terus terjadi di segala front Medan Area.
Membuka awal tahun 1947, dibentuk “Komando Medan Area” (KMA) yang dipimpin langsung oleh perwira tinggi TRI, dan mengambil alih pimpinan operasi di front Medan Area dari tangan Resimen Lasykar Rakyat Medan Area (RLRMA). Resimen Lasykar Rakyat Medan Area  dibu­barkan. KMA kemudian melancarkan serangan yang dikenal dengan “Operasi 15 Februari 1947.”     Operasi militer tanggal 15 Februari itu merupakan operasi besar-besaran yang pertama di Medan Area, yang melibatkan kekuatan TRI dan Lasykar Rakyat. Di sektor Barat dan Utara, dikerahkan pasukan TRI Divisi Gadjah II, pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA), dan dibantu oleh lasykar rakyat yang berada di sektor tersebut. Opera­si di sektor itu dipimpin oleh Mayor Hasan Achmad, Koman­dan RIMA. Di sektor selatan dikerahkan pasukan-pasukan dari Resimen I, II, III Divisi Gadjah II Sumatera Timur dan dibantu oleh Lasykar Rakyat Medan Selatan. Operasi di sektor tersebut dipimpin oleh Mayor Martinus Lubis, Koman­dan Batalion I Resimen II Divisi Gadjah II.[30]
Dalam pertempuran tanggal 14-15 Februari, disamping gugurnya Komandan Batalion I Resimen II Divisi Gadjah II TRI, lebih dari 100 orang anggota lasykar dan TRI menderi­ta luka berat dan ringan. Pertempuran itu juga telah menelan korban 17 orang penduduk sipil tewas dan 50 orang lainnya menderita luka-luka. Di sisi lain, sebanyak 70 buah rumah musnah terbakar. Di pihak Belanda telah gugur dalam pertempuran itu sebanyak 35 orang dan lebih 60 orang lainnya menderita luka-luka. Sebuah Mustang dan tiga buah pipercub mengalami kerusakan hebat dan sebuah tank brengun carrier rusak dan terbakar terkena granat di Jalan Mahka­mah. Di Sukaramai, sebuah panser dapat dirampas oleh lasykar rakyat dan pengemudinya mati terbunuh dan lima kenderaan  militer lainnya hancur. Dalam pertempuran itu, sebanyak dua kali lapangan terbang Polonia mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk bebera­pa saat.[31] Lemahnya koordinasi antar pasukan yang diaki­batkan oleh buruknya sarana komunikasi dan lemahnya per­senjataan, tampaknya menjadi faktor utama kurang berhasil­nya serangan frontal tanggal 15 Februari 1947.
Serangan yang dikordinasi oleh KMA itu dihentikan, karena  ada perintah penghentian tembak menembak (cease fire) pada tanggal 15 Februari 1947 jam 24.00. Sesudah itu Panitia Teknik genjatan senjata melakukan perundingan untuk menetapkan garis-garis demarkasi yang defenitif untuk  Medan Area. Dalam perundingan yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis demarkasi yang melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang garis demarkasi yang dikuasai oleh tentera Belanda dengan daerah yang dikuasai oleh tentera Republik seluruhnya adalah 8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulailah pemasangan patok-patok pada garis demarka­si itu. Pertempuran dan insiden bersenjata antara kedua pihak selalu mempersengketakan garis demarkasi itu.
Memasuki bulan Juni 1947, hubungan antara pemerintah Republik dan Belanda semakin buruk. Perjanjian Linggarjati dan Gencatan Senjata di Sumatera Timur (Medan Area) tidak ditepati. Belanda mulai merusak perjanjian linggarjati dengan membentuk Negara Pasundan.[32] Di Sumatera Timur, Belanda melakukan tindakan profokatif untuk memecah belah persatuan antara rakyat dan Republik Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu Belanda bahkan mengedarkan candu, uang palsu, dan memberikan hadiah uang kepada kaki tangannya untuk membunuh perwira TRI dan tokoh-tokoh Republik.[33]
Mengantisipasi akan pecahnya konflik militer terbuka dengan Belanda, maka  Presiden Soekarno tanggal 3 Mei 1947  memerintahkan penggabungan semua pasukan bersen­jata ke dalam Tentara Nasional Indonesia.[34] Pada tanggal 13 Juli 1947 Jendral Suhardjo Komandan T.R.I. Territorium Sumatera memerintahkan  semua kekuatan TRI dan Lasykar Rakyat di Sumatera segera bergabung ke dalam TNI. Namun demikian, sejumlah unit-unit Lasykar Rakyat tidak mau mematuhi perintah Suhardjo, terutama dari Pesin­do dan Barisan Merah. Bahkan unit-unit yang diterima sebagai bagian dari TNI pun sedikit sekali yang patuh, karena mereka memiliki otonomi dalam aspek politik dan ekonomi. Bagi beberapa Lasykar Rakyat, pada umumnya terus beroperasi secara bebas seperti sebelumnya, mereka saling bersaing baik dengan Lasykar Rakyat lainnya maupun dengan TRI, terutama dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi sebagai sarana memperoleh senjata.[35]


Sumatera Utara Masa Revolusi Kemerdekaan 1947-1949

Perkembang hubungan Pemerintah RI dan pemerintah Belanda sampai bulan Juni dan Juli 1947 semakin memburuk. Perjanjian Linggarjati dan genjatan senjata di Sumatera Timur sering dilanggar. Pemerintah Belandapun terus memprovokasi para pendukung republik dengan mengedarkan uang palsu, candu dan memberikan hadiah kepada para “kaki tanganya” untuk membunuh tokoh tokoh republik.[36] Di sisi lain kondisi pertahanan dan Pemerintahan RI juga tidak kondusif, khususnya kondisi pertahanan di Sumatera Utara. Konflik antar berbagai lasykar rakyat  sering terjadi meskipun sudah dibentuk Komando Medan Area yang mempersatukan semua kekuatan Republik di Sumatera Timur. Untuk itulah pada tanggal 20 Juli 1947, Wakil Presiden R.I. Mohammad Hatta tiba di Pematang Siantar dari Bukit Tinggi.[37] Di hari yang sama Perdana Menteri Belanda Dr. Bel memerintahkan pasukan Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai aksi polisionil[38] terhadap Republik Indonesia.
Pagi hari tanggal 21 Juli 1947, pasukan infantry Belanda yang didukung oleh kenderaan lapis baja, artileri, dan pesawat tempur menyerang basis-basis pertahanan pasukan republik di Medan Area. Dalam 24 jam pasukan Belanda berhasil menduduki Stabat, Binjai, dan Tandem Hilir. Sehari kemudian pasukan Belanda memasuki Sungai Bingai dan Deli Tua. Dalam tempo singkat mereka kemudian dapat menduduki kota  Tanjung Pura, Lubuk Pakam, Perbaungan, Medan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Seribu Dolok, Berastagi, Kabanjahe, dan Tanjung Balai.[39]
Wakil presiden Mohammad Hatta, Gubernur Sumatera , Mr. T.M. Hasan dan para pejabat pemerintahan propinsi meninggalkan Pematang Siantar menuju kota Bukit Tinggi. Maraden Panggabean ditugaskan oleh Komandan Divisi VI untuk mengamankan perjalannya rombongan Wakil Presiden dari Sibolga sampai ke perbatasan Tapanuli- Sumatera Barat. Sementara itu, Residen Sumatera Timur, Abu Bakar Djaar memindahkan pusat pemerintahannya dari Tebing Tinggi ke Tiga Binanga (Tanah Karo) dan kemudian pindah lagi ke Padang Sidempuan. Semua pasukan republik (lasykar dan TRI) mengundurkan diri ke daerah Tapanuli dan Aceh.
Meskipun dengan cepat pasukan Belanda berhasil menguasai kota-kota penting di Sumatera Timur, tetapi pasukan Belanda tetap mendapat perlawanan sengit dari pasukan republik. Dalam upaya menguasai Parapat, Pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit di Aek Nauli sekitar 30 Km dari Petamatang Siantar. Satu Batalion pasukan Resimen II-Divisi VI Tapanuli dibawah pimpinan Mayor Jese Simanjuntak ikut menggempur pasukan Belanda. Namun karena gerak maju pasukan Belanda sulit terbendung, maka  Mayor Jese Simanjuntak meminta bantuan Maraden Panggabean untuk menghancurkan terowongan (batu lubang) -sebagai pintu masuk yang menghubungkan Tiga Dolok –Parapat- untuk menghempang laju pasukan Belanda ke Parapat. Dengan alat-alat yang sederhana, pasukan Maraden mencongkel batu-batu dan digelindingkan ke ruas jalan hingga dapat menghambat gerakan pasukan Belanda, tetapi terowongan batu itu masih tetap ada. Karena itu, dengan dibantu Letnan Agust Marpaung dan Parlindungan Hutagalung, Maraden Panggabean meledakkan sebuah jembatan dengan bom sisa peninggalan Jepang. Tapi usaha ini hanya berhasil merubuhkan jembatan,sementara terowongan masih eksis. Pekerjaan ini sangat mencekam karena pesawat terbang Belanda terus mengintai dari udara dan pertempuran di Aek Nauli demikian kuat terdengar di sekitar terowongan itu. Memang ada usaha untuk menghancurkan terowongan itu lagi, tetapi karena tak ada waktu, maka Maraden dan pasukan segera meninggalkan daerah dan Parapat akhirnya berhasil dikuasai Belanda.[40]Dengan jatuhnya Parapat maka pintu masuk ke Tapanuli sudah terbuka bagi pasukan Belanda. Pasukan republik kemudian mengundurkan diri ke daerah Tapanuli dan mulai melakukan konsolidasi.
Setelah agresi militer I kondisi pasukan republik di daerah pengungsian tern­yata mengalami masalah karena banyak yang tercerai berai dari induk pasukannya. Banyak anggota pasukan kehilan­gan induknya dan bergabung dengan pasukan lainnya. Dalam kenya­taannya kemudian timbul masalah untuk mempersatukan selur­uh pasukan menjadi satu komando. Suatu hal ini yang sangat penting untuk menghempang serangan  Belanda ke Tapanuli. Pada tang­gal 15 Agustus 1947 di Tanah Jawa (Simalungun) telah dibentuk Brigade XII dengan Komandannya Ricardo Siahaan,[41] yang mempersatukan semua kekuatan militer yang berasal dari Sumatera Timur yang berada di Parapat dan Labuhan Batu. Sementara Divisi VI/Banteng Negara diubah namanya menjadi Brigade XI dibawah komandannya Kolonel Pandapotan Sitompul. Maraden Panggabean dipercaya menduduki Komandan Resimen I yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Resimen I membawahi 2 batalion yakni battalion I di pimpin Kapten Koima Hasibuan dan battalion II dipimpin Kapten Oloan Sarumpaet. Keduanya beroperasi di Padang Sidempuan-Sipirok dan Sibolga-Barus.
Sementara itu Wakil Presiden Mohammad Hatta dari Bukit Tinggi langsung mengendalikan roda Pemerintahan Republik di Sumatera Urara. Sistem gabungan Pemerintahan sipil dan militer diterapkan untuk menghadapi kemungkinan pasukan Belanda melakukan serangan kembali. Daerah Aceh, Langkat dan Karo dijadikan satu pemerintahan Gubernur Milter dengan Gubernur Militernya Tengku Daud Berueueh berkedudukan di Kutaraja, Banda Aceh. Daerah Tapanuli dan sebagian Sumatera Timur seperti Labuhan Batu, Deli Serdang, Simalungun dan Asahan ditempatkan dibawah kekuasaan Gubernur Militer Dr. Gindo Siregar yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Tugas berat menanti Dr. Gindo Siregar, mengingat didaerah kekuasaanya persoalan pengungsi dan intrik antar pasukan demikian sulit dikendalikan ditambah lagi  masalah logistik yang demikian sulit masa itu. Maraden Panggabean sangat mengerti kesulitan yang dihadapi Gubernur Militer dan Kolonel Ricardo Siahaaan sebagai Komandan Brigade XII. Karena itu dengan semangat rela berkorban ia serahkan Markas Komandonya untuk dijadikan Kantor Gubernur Militer Dr. Gindo Siregar. Tidak hanya itu, rumahnyapun dijadikan tempat penampungan para pasukan Ricardo Siahaan yang selalu berurusan dengan Dr. Gindo Siregar.[42]
Konsolidasi TNI terus dilakukan mengingat adanya rencana Belanda akan melakukan agresi militer kembali. Jendral Suhardjo Hardowardjoyo ditarik ke Kementerian Pertahanan di Yogajakarta dan digantikan oleh Kolonel Hidayat. Wilayah Sumatera dibagi dalam 4 Teritorium yakni; Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Tapanuli Sumatera Timur dan Aceh dengan nama Komando Tentara dan Teritorium Sumatera.  Daerah  Tapanuli Sumatera Timur bagian Selatan  menjadi Sub-Teritorium VII Komando T.T Sumatera, dibawah Komandan Letnan Kolonel Kawilarang berkedudukan di Sibolga.[43]Kawilarang membagi Sub-Terotorium VII menjadi empat sektor yakni Sektor I dibawah Mayor Bedjo berkedudukan di Padang Sidempuan, Sektor II dibawah Mayor Liberty Malau berkedudukan di Tarutung, Sektor III dibawah Mayor Selamat Ginting berkedudukan di Sidikalang dan  Maraden Panggabean dipercaya sebagai komandan Sektro IV yang berkedudukan di Sibolga.[44]Ada satu sektor yang dekenal dengan Sektor “S” dengan komandannya P. Simanjuntak. Sektor ini merupakan satu unit pasukan angka­tan laut yang berpangkalan di Sibolga. Residen Tapanuli tetap dipegang oleh dr. F.L. Tobing.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Saat pasukan Belanda memasuki kota Tarutung tanggal 23 Desember 1948, markas TNI Sektor II sudah dipindahkan semuanya ke Simorangkir. Pasukan Belanda tidak menghadapi perlawanan yang berarti di Tarutung. Pertama kali kota Balige diserang oleh Belanda dari Udara pada pukul 5 pagi dengan dua pesawat Bomber dan tujuh Jager. Setelah penyer­angan itu selanjutnya pasukan infantri Belanda masuk melalui Danau Toba. Kemudian pada jam 11 siang pasukan Belanda menyerang kota Tarutung. Hanya dalam tempo singkat kota-kota besar di Tapanuli  seperti Tarutung, Ba­lige, Porsea, dan Siborong-borong dapat dikuasai oleh Belanda. Meskipun demikian perlawanan gigih sempat diberi­kan oleh Batalyon I untuk menghempang gerak laju pasukan Belanda ke arah Pahae. Akibat gempuran yang terus menerus maka markas pasukan dipindahkan lagi ke Sipahutar.
Dalam menyusun strategi perang TNI secara umum tidak melakukan perlawanan frontal terha­dap serbuan musuh. Secara teratur mereka menyingkir ke luar kota dan keluar jalan-jalan raya yang berada dibawah kendali pasukan Belanda. Mereka kemudian melakukan konsol­idasi untuk menciptakan taktik gerilya[45] dari daerah pedala­man. Sesuai dengan konsep perang gerilya, maka sistem pemerintahan juga diorganisasikan sesuai dengan kepentin­gan perang gerilya. Saat itu sistem pemerintahan republik merupakan gabungan dari unsur-unsur sipil dan militer. Setiap komandan batalyon diberi wewenang oleh Komandan TNI Sub Teritorium VII untuk membentuk pemerintahan gerilya di daerah pedalaman. Secara hirearkhis struktur pemerintahan gerilya di Sumatera adalah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (P.D.R.I.), Komandan TNI Teritorium Sumatera, Komandan Sub Sektor Teritorium VII, Komandan Sektor dan Komandan Batalyon  Pasukan  TNI mampu membentuk pemerintahan gerilya di daerah pedalaman, termasuk di Tapanuli Utara.
Wewenang yang diberikan kepada Komandan Daerah Mili­ter sangat luas, yakni mengatur keadaan politik, ekonomi, dan sosial, termasuk mengatur Pertahanan Rakyat Semesta (PRS). Berdasarkan wewenang itu, maka seluruh masyarakat dimobilisasi dan seluruh kekayaan yang terdapat didaerah itu diblokir untuk kepentingan perang gerilya. Dengan demikian daerah pedesaan diperkuat, sehingga musuh hanya dapat menguasai kota.
Pada tahun 1949 secara teritorial aktivitas gerilya TNI telah menjangkau kawasan yang cukup luas. Operasi gerilya TNI atau Pertahanan Rakyat Sumatera (P.R.S.) telah diarahkan untuk memperoleh senjata, bahan-bahan pakaian, makanan, obat-obatan dari musuh. Untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara menyerbu dan menyergap pos-pos Ondernemings Wachters(O.W.) dan polisi, dan konvoi  militer Belanda. Usaha sabotase itu dilakukan dengan membakar dan memusnahkan bangsal-bangsal tembakau, gudang, dan kilang-kilang di perkebunan, membabat tanaman tembakau, merusak pohon-pohon karet, membunuh pengusaha-pengusaha perkebunan serta pegawai-pegawainya yang dibenci buruh, merusak jembatan-jembatan, dan menanam ranjau darat pada jalan-jalan yang dilalui aparat militer dan pasukan musuh.[46] Selama tiga bulan frekuensi serangan gerilya TNI terhadap patroli-patroli militer Belanda  semakin meningkat.
Di Langkat, pada bulan Januari 1949 serangan gerilya secara intensif masuk dari Aceh. Serangan ini dipusatkan ke Pangkalan Brandan, Tanjung Pura, Namu Unggas, Kuala Namu dan Gebang. Beberapa perkebunan menjadi tidak aman; jalan-jalan di perkebunan ditanami ranjau dan banyak instalasi perkebunan yang dibakar . Pada tanggal 14 Januari  1949, bangsal buruh dan gudang getah yang berisi 20 ton getah karet dibakar. Serangan seperti ini tidak hanya terjadi di daerah Langkat, tetapi juga terjadi dihampir seluruh wilayah N.S.T. Pada tanggal 17 Februari 1949 sebuah serangan gerilya TNI terhadap Perkebunan Tembakau Klambir V/ Klumpang menyebabkan 3 pengusaha perkebunan bangsa Belanda meninggal dan 33 bangsal tembakau hancur. Serangan ini cukup berhasil karena para buruh perkebunan ikut membantu. Dalam serangan itu ikut dirampas 17 senapan dan 2 pistol Serangan terhadap perkebunan Klambir V Klumpang menarik perhatian para petinggi militer Belanda dan penguasa N.S.T. Sejumlah pejabat seperti Komisaris Kerajaan Belanda untuk Sumatera Timur, Komandan militer Belanda Jenderal P. Scholten dan anggota Kabinet N.S.T. menghadiri pemakaman 3 pejabat perkebunan tersebut.
Di Simalungun, wilayah-wilayah disekitar jalan raya dari Lima Puluh ke Kisaran dan dari Tanah Jawa dijadikan pangkalan operasi Gerilya TNI dari Asahan dan Tapanuli Selatan. Serangan gerilya TNI dari Samosir masuk ke Simalungun menyerang pos-pos Barisan Pengawal N.S.T. dan merampas pesersenjataan mereka. Di Asahan Selatan/Labuhan Batu aksi-aksi sabotase terjadi di Sungai Kepayang, Merbau, Sipare-pare dan daerah Aek Kota Batu.[47]
Para kepala desa dan pegawai N.S.T. yang bertugas di dalam daerah yang dekat dengan pangkalan gerilya TNI telah menjadi sasaran utama serangan gerilya. Di Tanah Karo misalnya selama bulan April gerilya TNI telah memasuki desa-desa di Deli Hulu sebanyak 90 kali dan menyerang kepala desa dan pegawai N.S.T., setempat yang dituduh sebagai kolaborator. Akibatnya 70 kepala desa tidak berani lagi tinggal di daerah itu dan ikut mengungsi ke pos-pos tentara keamanan Belanda atau ke Brastagi dan Kabanjahe. Kepala kampung N.S.T. yang mau bekerja sama tetap tinggal di wilayah itu. Di dalam wilayah yang ditinggalkan itu, TNI mengangkat kepala-kepala kampung yang baru, bahkan   ada satu desa memiliki dua kepala kampung.[48]
Memasuki bulan Maret aktivitas serangan gerilya TNI semakin meningkat. Para buruh perkebunan yang kemudian beralih menjadi petani ikut dalam aksi serangan gerilya terhadap perkebunan-perkebunan. Daerah Simalungun sejak tanggal 24-27 Maret telah disusupi oleh rombongan TNI, PRS, pemerintahan sipil, Tentara Pelajar dan kepolisian. Mereka membangun markas/pemerintahan militer di daerah Tigadolok, Sektor Pematang Siantar, Pane Tonga/Sidamanik, di sekitar Tanah Jawa dan Tebing Tinggi. Dari sinilah aksi-aksi gerilya dilancarkan terhadap perkebunan-perkebunan dan pos-pos O.W./ Barisan Pengawal N.S.T. dan patroli pasukan Belanda. Beberapa anggota Barisan Pengawal ditawan, 25 buah senjata api dan 2 pistol, 1 senapan, 20 stel pakaian seragam dan amunsi, sepuluh termos, dan dua puluh rantang makanan dirampas. Di Tanah Karo (Bandar Baru) juga terjadi serangan terhadap patroli Militer Belanda yang menyebabkan seorang perwira anggota Komisi Tiga Negara (K.T.N.) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tewas.[49]
Aktivitas serangan gerilya kemudian sampai pada tingkat melakukan penyusupan ke wilayah Langkat Hulu., Serdang Hulu, Tanjung Muda Hulu, Tanjung Muda Hilir dan Senembah Hulu. Di Simalungun (Tanah Jawa dan Tiga Dolok) dan Asahan Labuhan Batu serangan gerilya semakin meningkat. Di Rantau Prapat serangan terhadap O.W. berhasil membujuk anggota O.W. bergabung dengan T.N.I. Di daerah ini serangan terhadap perkebunan Bah Lia dan Muriah Banda berasil merampas 26 karaben, 1 bren, 3 sten, 5 buah pistol, 16 peti peluru, 20 peti pakaian, 2 mesin ketik dll. Tujuh anggota O.W. tewas, dan 12 luka-luka. Kepala administrasi perkebunan berbangsa Belanda tewas.Di Aek Pangka Asahan, rumah administartor perkebunan dirampok, 4 orang O.W. dengan 2 senapan dan sejumlah amunisinya dibawa kabur. Demikian juga di Panigoran rumah pejabat perkebunan dibakar, asisten dan kantor-kantor perkebunan dibakar.[50] Pemerintahan TBA di Tapanuli juga hanya eksis di kota-kota, sepanjang radius 5 km.[51] Dil luar itu adalah merupakan daerah kekuasaan pemerintahan Gerilya Republik. Akibatnya Belanda terpaksa mengamini seruan Dewan Keamanan PBB untuk melakukancease fire.
Melalui perundingan yang dilakukan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1949 dihasilkan suatu persetujuan yang dinamakan Roem Royen Statement. Dalam perjanjian itu disepakati antara lain tentang penghentian tembak menem­bak, pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta, Konfrensi Meja Bundar, dan pengakuan akan status RI dalam Negara Indonesia Serikat yang akan diben­tuk kemudian.[52]
Pada tanggal 2 November 1949 tercapailah persetujuan KMB di Den Haag yang isinya antara lain bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada bulan Desember 1949. Hasil KMB itu tentu saja melegakan rakyat Indonesia termasuk rakyat Tapanuli Utara. Upacara-upacara penyerahan kembali kekuasaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia berlasung di seluruh wilayah Jawa dan Sumatera termasuk di Tapanuli. Di Balige tanggal 13 Desember dan di Tarutung tanggal 14 Desember 1949. Dengan demikian menje­lang pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, selur­uh daerah Tapanuli telah sepenuhnya kembali menjadi wilayah Republik Indonesia. Perjuangan  mempertahan­kan kemerdekaan berjalan lancar berkat adanya kerjasama antara TNI dan  masyarakat lainnya.


Penutup

Daerah Sumatera Utara memberikan andil besar dalam proses pembentukan pemerintahan negara Republik Indonesia. Semangat revolusioner penduduknya yang muncul ketika itu sebenarnya buah dari penubuhan semangat kebangsaan yang telah digelorakan oleh parta-partai politik, organisasi sosial dan pers pada masa sebelumnya. Kehadiran beberapa tokoh nasional seperti Muhammad Hatta, Amir Syarifuddin pada masa itu menunjukkan betapa pentingnya daerah ini baik secara ekonomi dan politik bagi mendukung kelangsungan pemerintahan Negara Republik Indonesia.

Berbagai peristiwa ditingkat lokal di Sumatera Utara  malah menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari peristiwa nasional. Peristiwa yang menyertai proses penggabungan Negara Sumatera Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Mei-Agustus 1950, menyita banyak perhatian dan tenaga dari kalangan tokoh-tokoh nasional di Jakarta[53]. Perdana Menteri RIS, M.Hatta dan wakilnya Wangsa Wijaya, dan pejabat senior RIS seperti; Sumitro Kolopaking, Makmum Sumadipraja, dan Anak Agung Gde Agung,  hadir di sini untuk memberikan arahan agar  proses sejarah yang berlangsung tidak mengancam integrasi bangsa.

Oleh karena itu, proses bergabungnya Negara Sumatera Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berjalan damai, tanpa pertumpahan darah, meskipun diliputi dengan suasana yang panas. Pada 15 Agustus 1950, Dr. Mansoer (Wali Negara Sumatera Timur) secara resmi menyerahkan wewenang Pemerintahan NST kepada Ketua Panitia Persiapan Negara Kesatuan Sumatera Timur (PPNKST), Sarimin Reksodihardjo. Sumatera Timur digabungkan kembali dengan Tapanuli dan Aceh menjadi Propinsi Sumatera Utara dengan ibukotanya Medan.

Bedjo The Tiger of Sumatra

Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (1)
Bekas Montir yang Dijuluki Harimau Sumatera
Ribuan warga kota Medan setiap harinya melintasi jalan yang diberi nama sama dengan namanya, Jalan Brigjend Bedjo. Namun tidak banyak yang kenal siapa dia dan apa jasanya kepada kemerdekaan Indonesia. Pria Pujakesuma ini lahir di Medan namun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Seperti apa sepak terjangnya?
Diana Saragih-Medan

Suasana jembatan layang Pulo Brayan tidak pernah sepi dari kendaraan yang lalu lalang. Jembatan yang dibangun sejak 1992 dan selesai pada 2003 itu merupakan jalur yang menghubungkan dua jalan yakni Jalan Pertempuran dan Jalan Brigjend Bedjo di Kelurahan Pulo Brayan.
Tidak banyak warga generasi zaman ini di kawasan itu yang tahu bahwa dua nama jalan tersebut berhubungan dengan peperangan militer pada masa perang kemerdekaan. Jalan yang dipisah oleh persimpangan Pulo Brayan ini memang merupakan salah satu jalur pertempuran dari Perang Medan Area pada 1947 lalu. Namun tidak banyak warga yang mengetahui sejarah itu dan siapa sosok Brigjend Bedjo, yang kemudian diabadikan namanya menjadi salah satu jalan di Kecamatan Medan Timur itu.
“Dulu nama Jalan Brigjend Bedjo adalah Jalan Cemara, karena di sini dulunya banyak sekali pohon Cemara. Tapi sejak pertengahan 1990-an namanya diganti,” kata Herlina Purba (57), salah satu warga Jalan Brigjend Bedjo Medan.
Saat ditanya koran ini apakah dia mengenal sosok Brigjend Bedjo, perempuan yang sejak tahun 1979 tinggal di daerah itu bersama keluarganya mengaku tidak kenal siapa Brigjend Bedjo, dan mengapa jalan Brigjend Bedjo tadi diletak di sana. Tidak pernah ada sosialisasi nama jalan oleh pejabat setempat, tahu-tahu dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka alamat Jalan Cemara sudah berganti bernama Jalan Kolonel Bedjo dan belakangan menjadi Brigjend Bedjo.
Hal ini cukup dimaklumi, sebab tidak banyak media yang memaparkan sosok pejuang kota yang kemudian dikenalkan dan diabadikan melalui nama jalan. Setelah ditelusuri melalui sejumlah narasumber dan pustaka barulah diketahui siapa sosok Brigjend Bedjo ini. Dia adalah putra Jawa kelahiran Sumatera, seorang pejuang perang kemerdekaan yang awal keikutsertaan dirinya dalam pasukan militer tidak diawali dari pendidikan kemiliteran sama sekali.
Beberapa hari mencoba menelusuri jejak Brigjend Bedjo, koran ini akhirnya menemui sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr phil Ichwan Azhari. Dari dialah kemudian diketahui bahwa Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed mengoleksi buku biografi Brigjend Bedjo karangan Edisaputra yang diterbitkan Yayasan Bina Satria-45. Buku itu diterbitkan pada 1985, setahun setelah Brigjend Bedjo wafat. Tepatnya pada 28 Mei 1984 lalu.
Siapakah Brigjend Bedjo?
Bedjo dilahirkan pada 10 Desember 1919 di sebuah kampung kecil di kawasan Medan Timur bernama Tanjung Mulia. Ayahnya bernama Sattar, berasal dari daerah Gunung Jeruk Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dengan demikian ia adalah warga Medan putra Jawa kelahiran Sumatera (pujakesuma).
Setelah tamat dari melanjutkan sekolah desa, Bedjo yang bercita-cita ingin menjadi ahli teknik melanjutkan sekolah ke Ambach School di Medan, dan sore harinya belajar di Perguruan Agama Islam Aljamiyatul Wasliyah, di Pulo Brayan. Setelah menamatkan sekolahnya iapun bekerja pada perusahaan bengkel milik Belanda sebagai tenaga montir.
Begitu Belanda berhasil diusir oleh Jepang, Bedjopun berganti majikan, Jepang. Di samping menjadi montir di bengkel Jepang, Bedjo juga membuka bengkel kecil di rumah ibunya di Jalan Amplas, Medan. Khususnya membuat cangkul, rantang, dan sekrup-sekrup. Tapi beakangan, bengkel itupun kemudian berfungsi ganda. Yakni turut pula menjadi markas gelap gerakan antifasis yang disebar lewat ceramah dan diskusi dengan sejumlah tokoh pemuda seperti Slamat Ginting dan Liberty Malau, yang juga merupakan bagian dari pasukan bersenjata di Sumut. Saat itu Bedjo belum masuk dunia militer.
“Awal perjalanan karirnya di militer adalah tanpa sengaja. Saat Belanda terdesak oleh kedatangan pasukan Jepang, warga pribumi dipaksa masuk milisi oleh Belanda. Namun keahlian militer yang dipelajarinya kemudian malah ia pakai untuk menghabisi Belanda. Saat itu warga pribumi mendapat bantuan militer dari sisa Jepang,” kata Dr phil Ichwan.
Pertama sekali Bedjo merintis rasa nasionalisme dalam dunia keprajuritan, adalah ketika Barisan Pemuda Indonesia bentukan tokoh pemuda Medan, Soegondho, membuat panitia besar Rapat Umum Kemerdekaan RI di Medan. Yakni pembacaan teks Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945, yang baru diketahui warga Sumut sebulan kemudian. Pada 1 Oktober 1945 di Lapangan Merdeka Medan, ribuan warga Sumut berkumpul untuk memekikkan kemerdekaannya. Saat itu Gubernur Sumatra Timur, Mr T Muhammad Hasan yang memimpin rapat. Nah, Bedjo dan ratusan pemuda lainnya mengambil peran sebagai pasukan pengaman momen bersejarah itu. Karena diduga kuat ada pihak-pihak asing yang akan mengacaukan perhelatan akbar itu. Terbukti, dua buah granat aktif berhasil disita dari tangan warga pengkhianat saat akan melaksanakan aksinya.
Perjalanan militer Bedjo baru mulai memasuki tahap pertempuran yang sesungguhnya adalah ketika pasukan asing kembali mendarat di Medan. Kala itu warga kota dihadapkan kepada pasukan NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang diboncengi Inggris untuk menguasai lagi sejumlah daerah Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI termasuk daerah Sumatera Timur. Saat itu, Bedjo mulai masuk dalam sebuah pasukan milisi yang dipersenjatai dari hasil jarahan gudang senjata Jepang dulu.
Perang dahsyat dan bertubi-tubi dilalui pasukan Bedjo. Dengan merampas gudang senjata dan makanan Jepang, termasuk hasil perkebunan seperti karet dan tembakau yang saat itu sangat berdaya jual tinggi, pasukan Bedjo mendapat persediaan logistik. Meskipun demikian, tentu saja perbandingan persenjataan dan daya tahan antara pasukan Belanda dan Indonesia sangat jauh. Namun tekad ‘sekali merdeka tetap merdeka’ menjadi pekik dan motivasi untuk terus melawan dari penjajahan.
Bedjo dan sejumlah pasukan yang terbentuk di bagian-bagian wilayah, terus melakukan adu senjata dengan pasukan musuh. Namun yang paling terkenal-karena akhirnya mampu memukul mundur pasukan NICA yang datang dari pelabuhan Belawan- adalah upaya pasukan Laskar Rakyat Medan Area. Menurut Dr Ichwan, Perang Medan Area merupakan salah satu mata rantai peristiwa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang telah terjadi di beberapa tempat dalam lingkungan wilayah Indonesia. Antara lain Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Palagan Ambarawa di Jawa Tengah, Desember 1945, Bandung Lautan Api di Jawa Barat, Maret 1946, Peristiwa Merah Putih di Manado 14 Februari 1946.
Nah, dalam perang ini Bedjo, yang sudah berpangkat Mayor, adalah salah satu pemimpin pasukan pada Perang Medan Area. Serangan Umum Laskar Rakyat Medan Area yang terjadi pada 27 Oktober – 3 Nopember 1946, berhasil menguasai setengah lebih wilayah Kota Medan dari pendudukan Sekutu yang baru menang Perang Dunia ke-II, mereka merapat melalui pelabuhan Belawan sejak tanggal 4 Oktober 1945. Kala itu pasukan NICA dipimpin Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly.
“Karena kegigihan dan kenekatannya dalam memerangi Belanda, Brigjend Bedjo dijuluki Harimau Sumatera. Bahkan warga Tapanuli menyebutnya Si Tangan Besi,” tambah Ichwan.
Betapa tidak, Bedjo mengalami pertempuran bersama pasukannya dari kawasan Timur hingga Barat Sumatra Utara. Pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman bersejarah berupa kinerja Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area ini adalah bahwa sumber kekuatan pertahanan suatu bangsa yang sedang berevolusi melawan kaum penjajah yang bersungguh-sungguh hendak berkuasa kembali, terletak pada persatuan seluruh rakyat yang berjuang dengan semangat yang berkobar-kobar serta rela memberikan korban-korban yang paling fantastis.
“Brigjend Bedjo yang awalnya bukan militer akhirnya dengan semangat nasionalisme menjadi salah satu pejuang paling berpengaruh dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan,” pungkas Ichwan. (bersambung)

Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (2)
Selamatkan Nyawa Menteri, Jadi Inspirasi Film Nagabonar
Dua catatan penting lain menyangkut sosok Bedjo adalah ketangguhannya memimpin pasukan yang berhasil menyelamatkan seorang Menteri dan membunuh seorang pemimpin pasukan Belanda bernama Jenderal Spoor. Siapa dan bagaimana ceritanya?
Diana Saragih-Medan

Tahun 1947. Suasana di Kawasan Helvetia dan Titi Papan di kota Medan cukup menegangkan. Pasukan Belanda yang kembali datang untuk menguasai asetnya di kawasan Sumatra Timur pasca hengkangnya Jepang dari Bumi Indonesia, mendesak pasukan Indonesia untuk angkat senjata lagi. Padahal dua tahun lalu, Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya. Dalam masa menjelang penentuan garis demarkasi dengan Belanda di Medan Area tahun 1947, pasukan-pasukan bersenjata dari Aceh yang terdiri dari Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang tergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) dikerahkan ke Medan. Waktu itu dalam pasukan RIMA itu ada Bustanil Arifin, seorang perwira militer yang saat itu berpangkat Sersan Mayor. Dia adalah sosok yang kemudian diangkat menjadi Menteri Koperasi RI pada era 1980-an.
Waktu itu kompi Bustanil bertugas menggempur musuh dari Pasar 1, yang terletak di antara Kelambir V Helvetia dan Klumpang Titi Papan. Komandan kompi RIMA pada waktu itu kebetulan sakit, maka Bustanil pun ditugaskan menggantikannya. Ketika itulah terjadi pertempuran yang menegangkan tadi. Kompinya terkepung pasukan musuh dan terdesak untuk bersikap memilih, menyerah atau hancur di tangan lawan. Sudah 17 prajurit yang tewas.
Bustanil pun tidak kehilangan akal. Ia lalu mengutus seorang kurir untuk meminta bantuan kepada Bedjo yang kedudukan pasukannya, yakni Batalyon/Napindo Medan Utara, bersebelahan dengan kompinya. Pasukan Bedjo merespon cepat panggilan itu. Mereka kemudian langsung maju menggempur tentara Inggris dan Belanda lewat pasukan NICA-nya. Lepaslah bahaya maut yang sudah menunggu tadinya.
“Saya berhutang nyawa kepada Pak Bedjo,” kata Bustanil, yang disampaikannya saat pertemuan silaturahim para pejuang kemerdekaan eks TNI Stoottoep Brigade ‘B’ Komandemen Sumatra di Jakarta pada 15 Mei 1983 lalu. Pengalamannya itu, diselamatkan oleh Bedjo, ia kenang hingga berpuluh tahun kemudian.
Sosok Bedjo pun dikenal oleh eks TNI kemerdekaan, karena pasukannya pernah berhasil menembak mati seorang jenderal Belanda bernama Jenderal Spoor. Ketika itu, pasukan Belanda terus mendesak pasukan Indonesia hingga ke wilayah barat Sumatra Utara. Pasukan Bedjo yang dikenal sebagai pasukan Selikur, berhadapan dengan konvoi pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Spoor. Pada 23 Mei 1949, konvoi itu kemudian diserang oleh pasukan Selikur di Bukit Simagomago, kota Padang Sidempuan. Banyak pasukan Belanda yang tewas, termasuk Jenderal Spoor. Namun. sempat beredar berita sumir bahwa kematian Jenderal Spoor adalah akibat serangan jantung. Namun diyakni Bedjo bahwa Spoor mati karena luka-luka serius yang dialaminya, dan isu sakit jantung itu digunakan Belanda untuk meredam euforia kemenangan di kalangan pasukan pribumi.
Belakangan, nama Mayor Bedjo semakin dikenal karena kegigihannya. Januari 1948, Bedjo memimpin perundingan garis demarkasi dengan Belanda di Prapat. Namun pertemuan itu berakhir tanpa kesepakatan apapun, sebaliknya justru berakhir perang. Belanda kembali menyerbu pasukan Bedjo, hingga ia terdesak dan sempat disangka tewas dalam pertempuran itu. Namun sangkaan itu tinggal ispan jempol belaka, sebab Mayor Bedjo masih hidup dan ikut berperang bersama pasukannya di beberapa daerah lain di Sumut.
Melihat itu, sebagian masyarakat saat itu meyakini bahwa Bedjo memiliki ilmu menghilang dan tahan peluru. Atas pandangan ini, Bedjo dalam biografinya sempat berkata bahwa nyawanya masih dilindungi Tuhan, makanya ia masih sempat menghirup udara kemerdekaan selama lebih kurang 40 tahun kemudian.
Nah, pertanyaan lain tentang sosok Bedjo ini adalah mengenai kebenaran bahwa Bedjo merupakan sosok Nagabonar dari Sumatra Timur yang muncul dalam film tersebut. Terkait hal itu, Dr phil Ichwan sepakat atas dugaan itu. Namun, tokoh Nagabonar adalah gabungan beberapa tokoh pahlawan kemerdekaan periode 1948-1949 yang berhasil diramu oleh sang penulis skenario, Asrul Sani. Untuk sosok Nagabonar, Asrul Sani mengambil latar belakang Bedjo yang tidak memiliki basis pendidikan militer namun bisa memegang pangkat tinggi tanpa sepengetahuan tentara pusat. Makanya dalam satu adegan ada upaya pusat melakukan klarifikasi pangkat terhadap petinggi militer di daerah, namun mendapat bantahan dari Nagabonar.
“Karena memang pada masa itu ada istilah bagi-bagi pangkat, seperti yang ada dalam film Nagabonar itu. Namun cerdasnya film itu terletak dari kemampuan sang pembuat film mengangkat karakter pejuang daerah ke kancah nasional,” tukas Ichwan. (bersambung)

Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (3)
Hatta Kirim Surat Pujian dan Penghargaan Pribadi
Jasa-jasa Bedjo sebagai pemimpin pasukan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Utara tidak bisa dipungkiri lagi. Selain menyelamatkan seorang perwira yang kemudian menjadi menteri, Bedjo juga berhasil memimpin pasukan untuk menggempur Belanda dan hal tersebut mendapat apresiasi yang tinggi dari pejabat pemerintahan pusat kala itu. Meskipun namanya diabadikan menjadi nama jalan di kota Medan, namun usulan menjadikannya pahlawan nasional belum kesampaian. Kenapa?
Diana Saragih-Medan

Mantan presiden Amerika Serikat yang juga merupakan pahlawan kemerdekaan mereka, Abraham Lincoln pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa pahlawan bangsanya. Hal ini pulalah yang mendasari eks pejuang dan pemuka masyarakat asal Sumatra Utara di Jakarta untuk mengabadikan nama Bedjo, menjadi nama satu jalan di kota Medan.
Eks pejuang dan pemuka itu antara lain Mr T Muhammad Hasan (mantan Gubernur Sumatra Timur), HM Said (tokoh pers Sumut), Mayjen AE Manihuruk, Letjen Hidayat (eks Panglima Komando Sumatra), Slamat Ginting (eks Komandan Sektor III Komandemen Sumatra), dan Mayjen Richardo Siahaan (eks Komandan Komando Medan Area). Mereka mengirim surat kepada DPRD Kota Medan pada 10 Agustus 1984 yang ditembuskan kepada Menteri Dalam Negeri dan Panglima Kowilhan I serta Gubsu, agar nama Bedjo yang pada akhir hayatnya berpangkat Kolonel TNI Purnawirawan, menjadi nama jalan. Hal ini dilakukan agar jasa dan pengabdiannya kepada tanah air bisa selalu dikenang. Usulan ini pun disetujui, dan hingga kini Jalan Brigjend Bedjo masih ditemukan di kota Medan.
Satu hal yang belum terjadi adalah, usulan agar Brigjend Bedjo ini bisa dimasukkan dalam daftar pahlawan nasional sama seperti Jenderal Ahmad Yani dan pejuang lainnya. Keluarganya sempat menyatakan hal ini kepada pemerintah daerah kota Medan, namun persyaratan tokoh bisa dijadikan pahlawan nasional adalah harus melewati seminar nasional.
“Syarat seorang tokoh untuk dijadikan pahlawan nasional adalah lewat seminar nasional, dan dananya tidak sedikit mencapai ratusan juta rupiah. Nah, itulah yang tidak dimiliki oleh keluarga Bedjo saat ini,” kata Dr phil Ichwan Azhari, dari Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas negeri Medan (Unimed).
Soal sosok dan jasa Bedjo sendiri dalam membela bangsa ini dari upaya rongrongan bangsa Belanda dan Inggris awal-awal kemerdekaan dulu tidak usah didebat lagi. Catatan sejarah perjuangan kemerdekaan di Medan sudah menggores tinta emas tentang sepak terjangnya. Bahkan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta yang pada masa itu juga menjabat sebagai Wakil Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, ternyata juga mengagumi perjuangannya.
Hal ini terbukti dari adanya surat pribadinya kepada Mayor Bedjo tertanggal 12 September 1947. Katanya, Hatta sangat berkenan memberikan ucapan berupa surat pujian dan penghargaan atas jasa-jasa Bedjo bersama pasukannya dalam mengatasi segala kesulitan sebagai akibat penyerbuan Belanda dan kelakuan sewenang-wenang terhadap negara dan rakyat Indonesia. Saat itu, Mohammad Hatta sedang berdiam di Bukit Tinggi.
“Aku gembira bahwa Mayor Bedjo berada di Padang Sidempuan, untuk menghalau pasukan Belanda yang mencoba masuk ke daerah barat Sumut,” tulisnya dalam surat itu.
Dari tulisan tersebut tampaklah jelas bahwa harapan negara yang pada ketika itu sedang berada di ambang pintu agresi militer Belanda yang kedua, khusus untuk daerah Sumut bertumpu sepenuhnya ke pundak Mayor Bedjo dan pasukannya. Dan iapun tidak menyia-nyiakan kepercayaan dan amanat tersebut. Dengan segenap semangat mempertahankan kemerdekaan Bedjo dan pasukannya terus bertempur hingga ke ujung Barat Sumut, kota Sibolga.
Setelah pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949, pasukan Bedjo dengan kekuatan satu batalyon dipindahkan ke Jawa Barat, guna menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang menolak pembentukan RIS dan hendak melakukan makar. Sekitar tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke mabes Angkatan Darat diperbantukan pada Asisten-1 dengan pangkat Letnan Kolonel pada tahun 1957. Dari sana ia lalu memimpin “Pasukan Lambung” di Pekan Baru untuk penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sempat juga mengikuti Pendidikan Staf Komando di Bandung.
Di tahun 1960-an setelah beberapa tahun berpangkat Kolonel, ia memasuki masa pensiun. Selama 5 tahun ia sempat duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu tahun 1971. Usai melanglang dalam medan pertempuran dan politik, Sang Harimau Sumatra akhirnya menemui sang Khalik pada 28 Mei 1984 karena sakit komplikasi. Ia pun dikebumikan di Taman Makam Pahlawan. (bersambung)

Brigjend Bedjo, Pejuang yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (4-Habis)
Sosok Pemberani yang Diteladani Para Prajurit
Nama Brigjend Bedjo bagi sejumlah veteran Kemerdekaan RI bukanlah hal yang biasa. Sejumlah petinggi militer Indonesia memiliki kesan tersendiri bagi pejuang yang terkenal pemberani ini. Di antaranya Kolonel AE Kawilarang dan mantan Wapres RI, Tri Sutrisno. Seperti apa kisah kesannya?
Diana Saragih-Medan
Sosok Bedjo adalah pejuang yang banyak dikenal orang di kalangan militer. Sewaktu ia dalam keadaan sakit di Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta, banyak teman-teman seperjuangan yang datang berkunjung. Antara lain Mayjen AE Manihuruk, Mayjend Richardo Siahaan, Kolonel Haji Hasbullah, Drs Azhari, Brigjend Mardjans Saragih, Gazali Ibrahim dan lainnya. Dan ketika tanggal 28 Mei 1984 Pak Bedjo tutup usia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, yang bertindak sebagai komandan upacara penguburannya adalah Letnan Jenderal Purnawirawan Achmad Tahir, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Republik Indonesia kala itu.
Selanjutnya pada peringatan 40 hari wafatnya Pak Bedjo, hadir dan menyampaikan kata-kata duka dan penghargaan mantan Gubernur Provinsi Sumatera Timur yang pertama dan terakhir, Mr T Mohammad Hasan, dan bekas Gubernur pertama Sumut Mr SM Amin (Krieng Raba Nasution). Kata-kata kenangan kepada almarhum keluar dengan jujur dan lugas di hadapan para tamu waktu itu, termasuk di depan istri almarhum, Saniyem dan keluarganya.
Bedjo, Sang Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan Indonesia meninggalkan banyak kesan bagi rekan seperjuangannya dulu. Seperti yang dituturkan oleh Mayjend Rachmat Hidayat, dimana pada saat perang kemerdekaan RI pasca-Proklamasi, Pak Bedjo menjadi Panglima Tentara Territorium Sumatera (PTTS). “Waktu saya memasuki daerah Si Bedjo, maaf maksud saya Pak Bedjo, karena waktu itu demikian saya menyebutnya, saya merasa kagum sekali,” katanya.
“Pak Bedjo rupanya sudah berhasil menciptakan perjuangan rakyat semesta di daerahnya. Tegasnya, rakyat dan TNI sudah bersatu di Sumut, ibarat ikan dengan air dan seperti lepat dengan daun. Sama-sama memikul beban tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal itu memang sangat saya kagumi sebagai sebuah prestasi yang baik,” sambungnya.
Hal yang sama juga dilontarkan Kolonel AE Kawilarang, yang pada waktu perang Kemerdekaan RI pasca-Proklamasi bertindak sebagai Panglima Tentara Territorium VII meliputi Sumut dan Aceh. Ia meyakini bahwa perlawanan dan pertahanan Indonesia wilayah Sumut sudah dipersiapkan Bedjo dalam Sektor-I Sub Territorium VII. Terutama dalam menertibkan pasukan liar yang muncul pasca-hengkangnya Jepang dari bumi Indonesia termasuk Sumut.
“Justru itu saya merasa tidak perlu mengadakan inspeksi di daerah tersebut. Karena itulah maka Kepala Staf Kapten Ibrahim Adjie saja yang bertugas di daerah Pak Bedjo,” tuturnya.
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Raya, Brigjend HKI Chourmain juga memiliki kesan khusus kepada sosok Pak Bedjo. Suatu hari pada masa perang kemerdekaan RI pasca Proklamasi, dalam perjalanan tugas dari Jogyakarta ke Aceh, ia bertemu dengan Bedjo di beberapa titik lokasi. Seperti di Kurinci, Batusangkar, daerah Lintau, Payakumbuh, Halaban, Rao (Sumatera Barat) kemudian di daerah Tapanuli. Selain itu ia juga melihat pasukan Bedjo di mulai dari Kotanopan, Penyabungan, Sihepeng yang merupakan tempat kedudukan Markas Besar Pak Bedjo, juga langsung ke garis paling depan yaitu di Huraba daerah Padang Sidimpuan, yang sekarang terkenal dengan Benteng Huraba, pun ia melihat pasukan Pak Bedjo. Brigjend HKI Chourmain sangat terkesan dengan wilayah juang Bedjo yang bahkan mencapai sebagian daerah Riau.
Namun rasa kagumnya dengan sosok Bedjo bukan hanya di situ. Saat berjalan melakukan patroli, malang bagi Chourmin. Setiba di Sosopan, dia dan pasukannya diperiksa dan ditahan oleh pasukan liar yang menamakan dirinya Barisan Harimau Liar di bawah pimpinan AE Simarmata. Untung di sekitar daerah itu ada pasukan Pak Bedjo yang sedang bersiap-siap untuk menertibkan pasukan liar itu. Mengetahui bahwa Chourmin sudah ditahan Barisan Harimau Liar itu, maka pasukan pimpinan Bedjo tersebut berkirim surat kepadanya. Caranya, dengan menempatkan surat kecil tersebut dalam sebelah tempurung kelapa yang dihanyutkan secara menghilir di sungai tempat ia mandi di bawah pengawasan prajurit Barisan Harimau Liar tadi.
“Surat itu lalu saya baca, isinya mengatakan bahwa saya harus segera melarikan diri karena Simarmata sangat mencurigai saya bahwa pasukannya akan diketahui pusat soal keberadaan dan kekuatannya jika saya lepas. Anak buah Kang Bedjo itu bilang bahwa saya akan dibunuh,” tuturnya.
Melihat bahwa yang mengirim surat itu adalah anak buah Pak Bedjo yang kala itu berpangkat Mayor, maka HKI Chourmin yakin atas kebenarannya. Seketika itu juga begitu ada kesempatan, dia langsung melarikan diri, tanpa menunggu besok pagi. “Dengan demikian, saya berhutang nyawa kepada Kang Bedjo,” kenangnya.
Selain Brigjend HKI Chourmin, Kolonel AE Kawilarang, atau Mayjend Rachmat Hidayat yang punya kesan dan pengalaman sendiri dengan sosok Pak Bedjo, mantan Wapres RI era Soeharto yang sempat menjabat sebagai Pangdam Jaya, Mayjend Tri Sutrisno juga memiliki kesan tersendiri dengan beliau. Secara pribadi dia memang belum pernah berhubungan langsung dengan sang pejuang Kemerdekaan RI yang dijuluki Harimau Sumatera itu. Namun dia mengaku sangat mengagumi sosoknya.
Perjuangan dan kepemimpinan Pak Bedjo di Sumatera Utara pada waktu perang kemerdekaan banyak dia ketahui, terutama dari teman-teman tentara yang berasal dari sana dan dari buku-buku sejarah, surat kabar dan majalah yang mengulas tentang sepak terjang pasukannya melawan Belanda dan pasukan pemberontakan.
“Terus terang saya merasa kagum sekali. Keberanian atas dasar jiwa patriotik, mampu membawa pasukannya untuk bertempur dengan musuh hingga ke luar Provinsi Sumut. Banyak pengalaman Pak Bedjo yang harus kami teladani,” pungkasnya.