Sumatera Utara Pada Masa Revolusi Kemerdekaan
Daerah Sumatera Utara pada masa revolusi kemerdekaan, meliputi tiga buah keresidenan yakni Sumatera Timur, Tapanuli dan Aceh. Wilayah itu memberikan sumbangan penting kepada proses perjalanan sejarah bangsa Indonesia sehingga hari ini. Ada banyak peristiwa yang berlaku di Sumatera Timur dan Tapanuli selama periode revolusi kemerdekaan antara tahun 1945-1949. Oleh karena itu, kita akan batasi untuk membicarakan beberapa peristiwa yang karena substansinya memberikan peranan penting pada proses sejarah nasional Indonesia. Peristiwa yang akan dipaparkan adalah, pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia atau Propinsi Sumatera di Medan dan proses perjuangan menegakkan dan mempertahankannya dari upaya penghancuran yang dilakukan oleh musuh-musuh republik di Sumatera Utara.
Inilah isu penting yang akan dibicarakan untuk memenuhi tuntutan judul yang diberikan panitia kepada penulis. Dari sini kita akan menemukan bagaimanakah peranan Sumatera Utara dalam masa Revolusi Kemerdekaan. Di kawasan Medan, dahulu dikenal dengan Medan Area, sesungguhnya awal dari proses panjang perjuangan menegakkan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Sumatera Utara sehingga meluas ke Tapanuli dan perbatasan Aceh.
Medan Sebagai Pusat Pemerintahan Propinsi Sumatera
Pada tanggal 29 Agustus 1945, Mr.T.M. Hasan dan Dr. Amir tiba di Medan. Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 22 Agustus 1945. Mr.T.M Hasan diberikan kekuasaan penuh untuk mengangkat Residen (Kepala Daerah) dan pegawai pemerintah, Dr. Amir dijadikan Wakil Gubernur. Mr. Abbas ditugaskan untuk membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Dewan Perwakilan Daerah di seluruh Sumatera. Di samping itu, PPKI juga menetapkan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai negara dan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai pengawal republik. Kemudian atas usul Mr.T.M. Hasan dan Dr. Amir, PPKI mengesahkan kota Medan sebagai ibukota Prponsi Sumatera.[1]Sehari kemudian 3 (tiga) wakil Sumatera itu berangkat ke Palembang dengan pesawat tempur Jepang untuk mengimplimentasikan tugas-tugas yang diberikan oleh PPKI bersama-sama dengan M.Syafei dan Adinegoro.
T.M. Hasan sebagai Gubernur Sumatera[2] mencoba merangkul semua golongan masyarakat di Medan, baik dari golongan tokoh pergerakan politik maupun dari tokoh-tokoh kerajaan. Akan tetapi upaya kedua wakil PPKI itu belum membuahkan hasil dan bersamaan dengan itu sampai ke Medan berita-berita tentang datangnya kapal perang Sekutu di Padang dan Sabang. Di samping itu selang dua hari setelah Mr.T.M.Hasan dan Dr. Amir sampai di Medan, sekelompok kecil pasukan Sekutu lebih dahulu tiba di Medan dibawah pimpinan perwira Belanda, Letnan Brondgeest.[3] Brondgeest dan empat orang lainnya dikirim dari Markas Admiral Mountbattens, Komandan South East Asia Command (SEAC) di Kondy (Cylon) dengan instruksi untuk mengawasi persiapan pendaratan pasukan Sekutu di Medan. Mereka mengorganisasi pembebasan orang-orang Belanda dari kamp tawanan Jepang dan membuat laporan tentang keadaan di Sumatera.
Kondisi itulah yang akhirnya membuat sejumlah tokoh pergerakan yang tergolong dalam panitia penolong Gyugun, Heiho mendesak Mr. T.M.Hasan agar segera bertindak memproklamasikan Republik Indonesia. Akhirnya pada tanggal 30 september 1945, 700 rakyat berkumpul di Markas Taman Siswa untuk melakukan pertemuan massa Barisan Pemuda Indonesia (B.P.I.).[4]Suasananya sangat tegang, menggambarkan frustasi, kecemasan, dan harapan yang semakin meningkat meliputi kota Medan. Ahmad Tahir dan Sugondo membacakan pidato-pidato pembukaan. Kemudian Mr.T.M.Hasan berbicara, ia menjelaskan tentang peristiwa 17 Agustus 1945 di Jakarta, dan menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan dan pemerintah Republik saat ini sudah ada. Namun demikian ia belum memiliki wewenang untuk membentuk sebuah aparatur pemerintahan karena sampai saat ini konfirmasi secara tertulis tentang pengangkatannya sebagai Gubernur masih belum diterima dari Soekarno.
Setelah menerima konfirmasi resmi mengenai pengangkatannya sebagai Gubernur tanggal 2 Oktober 1945, Mr.T.M.Hasan kemudian memerintahkan pengibaran bendera merah putih di seluruh Sumatera dan mulai mengeluarkan dekrit[5], sebagai Gubernur. Dekrit itu pula yang menandai secara resmi berdirinya Pemerintahan Republik Indonesia Propinsi Sumatera di Medan. Dekrit No.1-X- tanggal 3 Oktober 1945 itu dengan resmi mengangkat sepuluh orang Residen Propinsi Sumatera. Sepuluh orang Residen yang diangkat itu adalah sebagai berikut: 1. Dr. Ferdinand Lumbantobing (Residen Tapanuli), 2. Teuku Nyak Arief (Residen Aceh), 3. Mr. Mohammad Yusuf (Residen Sumatera Timur), 4. Mohammad Safei (Residen Sumatera Barat), 5. Ir.Indra Tjahya (Residen Bengkulu), 6. Dr. A. Syagaf Yahya (Residen Jambi), 7. Dr. A.K. Gani (Residen Palembang), 8. Mr. Abd. Abbas (Residen Lampung), 9. M.A. Syarif (Residen Bangka dan Belitung), 10. Aminuddin menjadi Residen Riau berkedudukan di Pakan Baru.
Dalam usahanya memperlancar roda pemerintahannya, Mr. T.M. Hasan kemudian melalui dekrit No. 2-X- Tanggal 3 Oktober 1945 mengangkat sepuluh orang penasehat Gubernur. Sepuluh penasehat itu adalah: Tengku Hafas, Residen yang diperbantukan pada Kantor Gubernur, Mas Tahir, Sekretaris Gubernur, dengan beberapa pegawai tinggi yang diperbantukan pada Gubernur Sumatera yakni; Mangaradja Soangkupon, dr. Pirngadi, Mr. T.M. Hanafiah, Abu Bakar Djaar, Raden Mohammad Amrin, Tengku Abdul Hamid, Abdul Xarim M.S., dr. Sahir Nitihardjo.
Di samping itu dengan Dekrit No. 3-X- Tanggal 3 Oktober 1945, Mr. T.M. Hasan juga mengangkat empat Wali Kota untuk empat kota madya di Sumatera yaitu; Mr. Luat Siregar (Medan), Barnawi (Bukit Tinggi), dr. Hakim (Padang), dan Ir. Ibrahim (Palembang).[6] Dalam perkembangan selanjutnya staf Gubernur Sumatera ditambah menjadi 15 orang, yakni:
- Mangaraja Soangkupon sebagai Residen diperbantukan pada Gubernur Sumatera
- Mas Tahir sebagai Sekretaris Gubernur Sumatera
- A. Karim M.S. sebagai Asisten Residen diperbantukan pada Gubernur Sumatera
- Mr. T.M. Hanafiah sebagai Kepala Jawatan Kehakiman
- R. Muhammad Amrin sebagai Kepala Jawatan Keuangan
- Abu Bakar Jaar sebagai Kepala Jawatan Pendidikan
- Tengku Abdul Hamid sebagai Kepala Jawatan Kemakmuran
- Dr. Tengku Mansur sebagai Kepala Jawatan Kesehatan
- Dr. Sahir Nitihardjo sebagai Pegawai Tinggi diperbantukan pada Gubernur Sumatera
10. Mr. Tengku Zulkarnaen sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Medan
11. A. Mutholib Moro sebagai Jaksa Tinggi
12. Dr. R. Pringadi sebagai Pegawai Tinggi diperbantukan pada Gubernur Sumatera merangkap Kepala Rumah Sakit Umum Kota Medan.
13. Tengku Usman Husin sebagai Juru Bahasa
14. Tengku Maimun Habsyah sebagai Juru Bahasa
15. Tuanku Mahmud sebagai Residen diperbantukan pada Gubernur Sumatera sebagai Inspektur memeriksa keadaan pemerintahan[7]
Mengingat di daerah Sumatera Timur terdapat wilayah kerajaan dan statusnya diakui dalam pasal 18 UUD 1945, maka Mr. T.M. Hasan selaku Gubernur Sumatera mengangkat lima orang Wakil Pemerintah untuk kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur sebagaimana disebut dibawah ini;
- Tulus, Wakil Pemerintah RI untuk Deli Serdang berkedudukan di Medan
- Tengku Amir Hamzah, Wakil Pemerintah RI untuk Langkat berkedudukan di Binjai
- Madja Purba, Wakil Pemerintah RI untuk Simalungun berkedudukan di Pematang Siantar
- Ngerajai Meliala, Wakil Pemerintah RI untuk Tanah Karo berkedudukan di Kaban Jahe
- Tengku Musa, Wakil Pemerintah RI untuk Asahan berkedudukan di Tanjung Balai[8]
Kelima Wakil Pemerintah itu dalam menjalankan urusan pemerintahan sehari-hari melakukan kontak langsung dengan Residen Sumatera Timur di Medan.
Perlu dijelaskan, bahwa sebagian dari Residen yang diangkat Gubernur Sumatera itu (Aceh, Sumatera Barat, Riau, Palembang, dan Lampung) sudah lebih dahulu melaksanakan tugas di daerahnya masing-masing atas pengangkatan KNI Daerahnya, sebelum keluarnya Surat Keputusan Gubernur Sumatera. Dr. A.K. Gani dan Mr. Abdul Abbas bahkan sejak tanggal 25 September 1945 telah mendapat surat pengangkatan resmi dari Presiden Sukarno. Namun demikian demi kelengkapan administratif, penetapan Gubernur itu memang masih perlu dikeluarkan. Surat keputusan itu sangat penting sekali dan menjadi landasan kuat untuk bertindak. Semua surat keputusan itu disampaikan melalui telegram.
Setelah itu, Mr. T.M. Hasan menetapkan sebuah gedung yang terletak di Jalan Istana No.15 sebagai Kantor Gubernur Sumatera. Pada tanggal 4 Oktober 1945, pengangkatan para pejabat tinggi Negara Republik Indonesia Propinsi Sumatera itu diumumkan secara resmi melalui harian “Soeloeh Merdeka” dibawah pimpinan Jahya Jacob. Sejalan dengan itu, secara cepat Mr. T.M. Hasan juga memerintahkan mobilisasi umum untuk mengambilalih kekuasaan dari tangan Jepang. Perintah itu dalam satu hari saja telah dilaksanakan secara serentak di segenap penjuru kota Medan. bahkan juga di daerah-daerah lainnya di wilayah Sumatera Timur. Dengan cepat semua jawatan pemerintah, kepolisian, kantor telepon, telegraf, kereta api, dan lainnya diambilalih dari tangan Pemerintah Militer Jepang. Mr. T.M. Hasan juga memerintahkan pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Sumatera Timur. Dua orang tokoh moderat yaitu, dr. Soenarjo dan dr. Djabangun diangkat sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Dengan demikian sejak tanggal 3 Oktober sampai November 1945, struktur dasar Pemerintahan Republik di Sumatera telah berdiri. Pada tanggal 9 Oktober 1945 diselenggarakan pawai raksasa sebagai sarana untuk menunjukkan kepada dunia (Sekutu dan NICA/Belanda), bahwa Kemerdekaan itu bukan hanya kemauan Sukarno-Hatta saja, tetapi seluruh rakyat. Pada saat itu seluruh jalan-jalan utama di Kota Medan dipenuhi oleh ribuan pendukung Republik yang berbaris ke seluruh penjuru kota menyuarakan dukungan kepada Republik dan Presiden Sukarno. Namun demikian rintangan terhadap pembentukan pemerintahan Republik terus menghadang di depan. Rintangan itu datang dari kekuatan militer Belanda/NICA dan Pasukan Sekutu.
Dalam tahap awal, Mr. T.M. Hasan membuat peraturan tentang pengangkatan pegawai. Pengangkatan pegawai rendah sampai menengah dilakukan oleh Residen, sedangkan dari pegawai menengah ke atas dilakukan oleh Gubernur. Struktur penggajian yang dilakukan oleh Mr. T.M. Hasan pada saat itu masih mengikuti model Belanda, yaitu Gaji Gubernur Rp. 1200, Residen Rp. 800, Bupati Rp. 500, Patih Rp. 400, Wedana Rp. 300, dan Camat Rp. 200 perbulan.[9] Pada masa awal revolusi kemerdekaan di Sumatera, para pegawai negeri banyak membantu proses pengambil alihan pemerintahan dari tangan Jepang. Berkat pengalaman mereka, roda pemerintahan berjalan dengan lancar dan karena itulah proses penyusunan administrasi pemerintahan di Sumatera berjalan baik.
Menyadari bahwa ancaman terhadap Pemerintahan Propinsi Sumatera demikian besar, maka pada tanggal 7 Oktober 1945, dua hari setelah Presiden Sukarno membubarkan BKR dan memerintahkan pembentukan TKR, Gubernur Sumatera Mr.T.M. Hasan, mengangkat kordinator-kordinator TKR di setiap Residensi.. Sebagai kordinator untuk daerah Sumatera Timur diangkatlah Abdul Xarim M.S. dan untuk daerah Tapanuli dr. Ferdinand Lumbantobing. Mengingat tugasnya sebagai asisten senior pada kantor Gubernur, maka pada tanggal 9 Oktober 1945, Abdul Xarim M.S. mengangkat Mahruzar (adik kandung Perdana Menteri Sutan Sayhrir) sebagai formatur untuk membentuk organisasi ketenteraan. Pada tanggal 10 Oktober 1945 dalam pertemuan untuk membentuk TKR Sumatera Timur, Ahmad Tahir terpilih sebagai Komandan TKR Sumatera Timur. Sementera TKR Tapanuli dipimpin oleh Pandapotan Sitompul, TKR Aceh dipimpin Syamaun Gaharu, TKR Riau dipimpin oleh Hasan Basri, TKR Sumater Barat dipimpin oleh Dahlan Jambek, TKR Jambi dipimpin oleh Abun Jani, dan TKR Palembang dipimpin oleh Hasan Kasim. Markas Besar TKR Sumatera berkedudukan di Lahat Sumatera Selatan. Sejak bulan Nopember 1945, Dr. A.K. Gani diangkat oleh Markas Besar TKR di Jawa sebagai organisator dan koordinator TKR Sumatera. R. Soehardjo Hardjowardojo diangkat sebagai Kepala Markas Besar TKR Sumatera.[10] Dr. A.K. Gani kemudian mengeluarkan intruksi yang menyatakan bahwa Sumatera dibentuk menjadi enam divisi dibawah Komandan Mayor Jendral Suhardjo Hardjo Wardjojo. Unit-unit TKR Sumatera Timur dan Tapanuli dijadikan Divisi IV dan VI.[11] Di Medan dibentuk satu unit polisi militer. Pada tanggal 26 Januari TKR Sumatera diubah namanya menjadi Tentera Republik Indonesia (TRI), sesuai dengan instruksi Pemerintah Republik di Jawa.
Tanggal 12 April 1946 Mr.T.M. Hasan mengangkat 100 anggota Dewan Perwakilan Sumatera (DPS) dan juga mengumumkan nama-nama anggotanya. Diantaranya dua puluh anggota diangkat dari Sumatera Timur dan sebelas dari Tapanuli.[12] Sidang DPS itu akan dilaksanakan di Bukit Tinggti pada tanggal, 17 April 1946. Pada saat itu Mr.T.M. Hasan telah membubarkan Pemerintahan Darurat Militer di Sumatera Timur dan mengangkat Luat Siregar sebagai Residen Sumatera Timur. Pada tanggal 15 April 1946 secara resmi Pusat Pemerintahan Propinsi Sumatera berkedudukan di Pematang Siantar.
Sehari kemudian Abdul Xarim M.S. dan Luat Siregar, dan 18 orang anggota DPR lainnya berangkat juga ke Bukit Tinggi. Sidang DPR segera dibuka pada tanggal 17 April 1946 dan dihadiri oleh seratus anggota. Gubernur Mr. T.M. Hasan dipilih sebagai Ketua Sidang dan pemimpin Partai Sosialis, Dr. Gindo Siregar sebagai Wakil Ketua. Beberapa anggota Dewan Eksekutif juga telah dipilih yaitu: Dr. Gindo Siregar dan Dr. Sunaryo (Sumatera Timur), Mr. Rufinus Lumbantobing(Tapanuli), Soetikno (Aceh), Tjik Wan (Sumatera Selatan), dan Mohammad Nasrun (Sumatera Barat).
Sidang DPS berhasil memutuskan struktur formal Pemerintahan Republik di Sumatera. Secara mendasar DPS memutuskan bahwa propinsi dikepalai oleh seorang Gubernur, sub-propinsi dikepalai oleh wakil gubernur (Gubernur muda), karesidenan dikepalai oleh seorang residen. Kabupaten dikepalai oleh seorang bupati, kawedanaan oleh seorang Wedana, dan Kecamatan oleh seorang Camat dan dibawahnya terdapat para Kepala Nagari, Huta, Kampung, desa dan sebagainya. Di samping itu diputuskan juga undang-undang tentang pembentukan departemen-departemen pemerintahan yang bertugas menangani masalah keuangan, kesejahteraan sosial, kesehatan, komunikasi, agama, penerangan, keamanan dan pertahanan. Setiap departemen memiliki cabang-cabangnya di tingkat residensi. Sidang DPR itu juga berhasil memutuskan sebuah departemen khusus untuk menangani masalah perkembangan ekonomi, pendidikan, dan perkebunan.
Keputusan penting dari Sidang DPS itu adalah pembagian Sumatera dalam tiga sub propinsi (daerah administratif), yaitu Sumatera Utara (Residensi Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli), Sumatera Tengah (Residensi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi), dan Sumatera Selatan(Residensi Palembang, Bengkulu, Lampung, dan Bangka/Belitung). Tiap-tiap propinsi merupakan daerah administratif yang tidak memiliki kekuasaan otonomi atau lembaga pemerintahan dan dikepalai oleh seorang Gubernur Muda. Gubernur Muda bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan berbagai pemerintahan residensi di wilayahnya.[13]
Sidang DPS Sumatera ditutup pada tanggal 19 April, Mr. T.M. Hasan kemudian kembali ke Pematang Siantar. Pelaksaan keputusan Sidang DPR bukanlah pekerjaan mudah. Baru pada bulan Mei dapat dibentuk Departemen Perkebunan, Penerangan, dan Ekonomi. Pada awal bulan July menyusul dibentuk Dewan Penasehat Pemerintah untuk masalah Perkebunan dan Perkembangan Ekonomi. Dewan ini dipimpin oleh Ir. Indratjaya, dan Dr. Gindo Siregar. Dewan itu ditugaskan untuk mengawasi aktivitas ekonomi pemerintah di Sumatera, termasuk mengoperasikan tambang minyak di Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu, mengontrol pajak dan sirkulasi mata uang dan perdagangan. Pada bulan Agustus departemen-departemen lainnya juga dibentuk yaitu, Kesehatan, Pendidikan, Agama, Pertahanan. [14]
Pemerintah Negara Republik Indonesia Propinsi Sumatera berusaha terus untuk merehabilitasi perekonomian yang telah hancur pada masa Jepang. Sejak pertengahan tahun 1946, keadaan makanan dan pakaian penduduk tekah mengalami perbaikan. Pendudukan yang berpakaian goni sudah hampir tidak ada lagi. Di samping itu, perekonomian rakyat dibimbing oleh pemerintah dengan cara koperasi. Salah satu usaha kearah ini adalah pemerintah telah berusaha memperbanyak penanaman padi, membuat irigasi, mendistribusikan tanah, dan memasukkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari luar negeri dengan cara barter dengan hasil bumi Indonesia. Di bidang sosial pemerintah telah membentuk sebuah panitia pengurus romusya dan orang-orang miskin yang kemudian bekerjasama dengan Jawatan Agama.[15]
Dalam bidang keuangan Pemerintah Republik mengalami kesulitan, sebab secara resmi sampai tahun 1946 belum memiliki mata uang sendiri. Di Sumatera yang beredar adalah mata uang Jepang. Dalam peredarannya mata uang Jepang terlalu banyak di masyarakat, sehingga nilai terus merosot. Sebaliknya harga-harga barang terus melambung tinggi. Penyebab inflasi mata uang Jepang itu teranyata adalah ulah pemerintah Belanda. Diketahui umum bahwa Pemerintah Inggris di Singapura telah mendapatkan klise untuk mencetak uang itu dan kemudian alat-alat itu jatuh ke tangan Belanda. Dengan alat itu akhirnya Belanda dapat menyebarkan uang palsu ke daerah republik.[16] Untuk mengatasi masalah itu maka Mr. T.M. Hasan mengeluarkan Maklumat No,20 /mgs Tanggal 2 Desember 1946 yang mengumumkan berlakunya Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai alat tukar yang syah dengan kurs satu rupiah ORI sama dengan seratus rupiah uang Jepang.
Namun demikian hal ini ternyata belum bisa mengatasi persoalan keuangan pemerintah propinsi Sumatera. Pada awal 1947 anggaran belanja untuk gaji pegawai dan biaya perjuangan sudah tidak terpenuhi. Kas negara belum cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja pemerintah. Upaya meminta bantuan ke Pemerintah Pusat untuk mengirimkan ORI juga tidak berhasil. Akibatnya Mr. T.M.Hasan selaku Gubernur Sumatera dan Wakil Pemerintah Pusat di Sumatera meminta pertimbangan Menteri Keuangan RI, Mr. Syafruddin Prawiranegara agar Pemerintah Propinsi Sumatera dapat mencetak uang sendiri. Syafruddin menjawab, Sumatera mencetak promessesaja , bukan uang tapi “surat janji”. Hasan memandang uang kertas lebih efektif daripada promesse Atas pertimbangan itu, maka Mr. T.M. Hasan memutuskan untuk mencetak uang kertas URIPS (Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera) dan diberlakukan pada tanggal 8 April 1947 melalui Maklumat No. 92/KO. URIPS ditandatangani oleh Kepala Jawatan Keuangan Propinsi Sumatera dan Direktur Bank Negara Indonesia di Pematang Siantar. Harga satu rupiah URIPS sama dengan satu rupaih ORI dan seratus rupiah uang Jepang. Mr. T.M. Hasan kemudian menetapkan Bank Negara Indonesa sebagai Bank milik pemerinatah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1946.[17] Masalah keuangan sebagai penggerak roda pemerintahan dan perjuangan akhirnya dapat diatasi oleh Mr. T. M. Hasan. Upaya selanjutnya adalah mencari Sumber Daya Manusia yang handal untuk mendukung kinerja Jawatan Keuangan Propinsi yakni dengan mencari ahli percetakan uang, ahli keuangan, ahli bank, dan ahli pegadaian. Termasuk dalam rangka itulah Mr. T. M. Hasan dan R.M. Amrin melawat ke Sumatera Selatan.
Setelah Pematang Siantar diduduki pasukan Belanda dalam Agresi bulan Juli 1947, ibukota Pemerintahan Propinsi Sumatera dipindahkan ke Bukit Tinggi. Setelah itu Pemerintah Propinsi Sumatera direorganisir kembali dengan kebutuhan perjuangan melawan Belanda dan efektifitas roda pemerintahan di Sumatera. Untuk itu sejak tangal 1 Juni 1948, Sumatera dijadikan 3 Propinsi, yakni Sumatera Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Mr. T. M. Hasan diberhentikan dengan hormat sebagai Gubernur Sumatera dan kemudian diangkat menjadi Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera.
Medan Area[18]: Perjuangan Awal Mempertahankan Proklamasi
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, maka tentara ke-14 SEAC yang berada dibawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Miles Demsey ditugaskan untuk menduduki daerah Malaya, Singapura, Sumatera dan Jawa.. Tentara Sekutu yang ditugasi menduduki Jawa dan Sumatera diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), yang dikepalai oleh letnan Jenderal Sir Philip Christison berkedudukan di Jakarta. Pendaratan tentara Sekutu di pelabuhan Belawan Medan berlangsung pada tanggal 10 Oktober 1945.[19] Kedatangan Brigade-4 Divisi India ke-26 dibawah pimpinan TED Kelly, diikuti pula oleh para pembesar NICA. Upacara penyerahan serah terima kekuasaan dilakukan pihak Jepang diwakili oleh Jenderal Sawamura sedangkan pihak Sekutu diwakili oleh Brigadir Jenderal TED Kelly.. Setelah selesai serah terima kekuasaan, tentara Sekutu langsung berangkat ke Medan. Mereka ditempatkan pada tempat-tempat yang telah dipersiapkan oleh Letnan Brondgeest yang telah hadir di kota Medan, di beberapa tempat seperti di Hotel de Boer (Dharma Deli), Grand Hotel (Granada), Hotel Astoria (Angkasa), Gedung NHM (Nederlands Handels Maatschappij), dan lain-lain. Beberapa hari kemudian, kompi Batalyon-6/SWB pindah ke Brastagi dan menempati gedung Plantersschool (bekas tempat tawanan sipil Belanda) masa pendudukan tentara Jepang.
Belanda kemudian melakukan manuver baik secara politik dan militer dengan melakukan perundingan rahasia dengan pejabat-pejabat tinggi sipil dan militer Inggris yang terdiri dari Panglima SEAC Laksamana Mountbatten, Panglima AFNEI Letnan Jenderal Christison, Menteri Penerangan Lawson dan Penasehat Politik M.E Dening, yang berlangsung di Singapura.[20]Di Medan, Brigjend TED Kelly tanggal 18 Oktober 1945 kemudian mengeluarkan maklumat yang berisikan larangan memegang senjata kepada bangsa Indonesia dan harus menyerahkannya kepada tentara Sekutu.
Maklumat itu menimbulkan kecurigaan bangsa Indonesia terhadap tentara Inggris dan menyakinkan para pemimpin Indonesia bahwa Inggris pada hakekatnya sebagai tentara kolonial yang membantu Belanda menjajah kembali Indonesia. Kecurigaan menjadi nyata setelah mereka melakukan propokatif dan teror terhadap bangsa Indonesia setelah berada di kota Medan. Hilangnya simpati dan timbulnya rasa kebencian terhadap tentara Inggris menjadi besar setelah mendapat berita tentang pertempuran 10 Nopember 1945 di kota Surabaya. Perasaan permusuhan semakin memuncak dan tajam, sehingga melahirkan sikap dan tindakan permusuhan dari golongan pemuda terhadap tentara Inggris.
Di kota Medan, Inggris memperkuat kedudukan dengan menentukan batas-batas daerah kekuasaannya. Sejak tanggal 1 Desember 1945 diberbagai sudut kota Medan di daerah kekuasaan Inggris, terpampang tulisan Fixed Boundaries, dan daerah inilah kemudian terkenal menjadi Medan Area.[21]Peristiwa yang terjadi telah membuat keadaan semakin tegang, dan permusuhan antara tentara Inggris dengan pemuda Indonesia tidak dapat didamaikan, sehingga terjadi insiden-insiden yang temponya lebih cepat dan lebih besar.
Berdasarkan kondisi-kondisi itu tidak mengherankan apabila pada tanggal 14 Oktober 1945, baru empat hari setelah pasukan Inggris sampai di Medan, meledak suatu konflik bersenjata antara para pemuda revolusioner dengan pasukan NICA-Belanda. Peristiwa itu terjadi akibat adanya provokasi langsung seorang serdadu Belanda yang bertindak merampas lencana merah putih yang tersemat di peci seorang penggalas pisang yang melintas di depan Asrama Pension Wilhelmina. Ratusan pemuda yang berada ditempat itu menyerang serdadu itu dengan senjata pedang, pisau, bambu runcing, dan beberapa senjata api. Dalam peristiwa itu timbul korban sebagai berikut : 1 (satu) orang opsir yaitu Letnan Goeneberg dan 7 (tujuh) orang serdadu KNIL meninggal. Beberapa warga negara Swiss luka dan meninggal, dan 96 orang serdadu KNIL luka-luka termasuk seorang laki-laki sipil dan 3 (tiga) orang wanita. Di pihak Indonesia gugur 1 (satu) orang dan luka berat satu orang.[22]
Peristiwa Jalan Bali itu segera tersiar ke luruh pelosok kota Medan, bahkan ke seluruh daerah Sumatera Utara dan menjadi sinyal bagi kebanyakan pemuda, bahwa perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai. Darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus ditumpahkan demi Revolusi Nasional. Akibatnya dengan cepat bergelora semangat anti Belanda di seluruh Sumatera Timur. Diantara pemuda itu adalah Bedjo, salah seorang pemimpin lasykar rakyat di Pulo Brayan. Bedjo bersama pasukan selikurnya pada tanggal 16 Oktober 1945, tengah hari setelah sehari sebelumnya terjadi peristiwa Siantar Hotel,[23] menyerang gudang senjata Jepang di Pulo Brayan untuk memperkuat persenjataan. Setelah melakukan serangan terhadap gudang perbekalan tentara Jepang, Bedjo dan pasukannya kemudian menyerang Markas Tentara Belanda di Glugur Hong dan Halvetia, Pulo Brayan. Dalam pertempuran yang berlangsung malam hari, pasukan Bedjo yang menyerang Helvetia berhasil menewaskan 5 (lima) orang serdadu KNIL.[24] Serangan yang dilakukan oleh para pemuda di Jalan Bali dan Bedjo itu telah menyentakkan pihak Sekutu (Inggris). Mereka mulai sadar bahwa para pemuda-pemuda Republik telah memiliki persenjataan dan semangat kemerdekaan yang pantas diperhitungkan.
Oleh karena itu sebagai tentara yang ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Komandan Inggris Brigadir Jenderal TED Kelly pada tanggal 18 Oktober 1945 mengeluarkan sebuah ultimatum yang berbunyi sebagai berikut, bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan Lasykar rakyat, dan harus menyerahkan semua daftar senjata api yang dimilikinya kepada Sekutu.[25] Pada tanggal 23 Oktober 1945, pasukan Inggris kemudian melakukan penggerebekan di dalam kota Medan dan sekitarnya. Dalam penggerebekan itu mereka berhasil mendapatkan 3 pistol, 1 senapan, 1 granat kosong, 2 ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan, 3 senapan tiga kaki, 36 pedang, 10 pisau, 4 denator listrik, dan 6 tombak.[26]
Sejak tentara Inggris melakukan razia di sekitar Medan, kecurigaan masyarakat terhadap Inggris bertambah besar. Patroli tentera Inggris sampai ke Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung Morawa, Saentis, bahkan ada serdadu-serdadu dan perwira Inggris yang berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan dan Belawan. Di samping itu Komandan Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral Chambers, menegaskan bahwa Pasukan Jepang diberikan kekuasaan untuk mengamankan daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit Tinggi, dan Palembang. Kondisi itu akhirnya menimbulkan konflik bersenjata dengan para pemuda Republik baik yang bergabung dengan TKR maupun dengan Lasykar Rakyat.
Demikianlah pada tanggal 2 Desember 1945, dua orang serdadu Inggris yang sedang mencuci trucknya di Sungai dekat Kampung Sungai Sengkol telah diserang oleh TKR. Kedua serdadu Inggris itu tewas, dua buah senjata dan trucknya dirampas. Dua hari kumudian, seorang perwira Inggris tewas terbunuh di sekitar Saentis. Akibatnya pasukan Inggris terus melakukan patroli di sekitar Medan, dan mereka mulai bertindak kasar. Pada tanggal 6 Desember 1945, tentera Inggris datang mengepung Gedung Bioskop Oranye di Kota Medan. Mereka kemudian merampas semua filem di gedung tersebut. Tindakan tentera Inggris itu menyebabkan para pemuda segera mengepung gedung bioskop itu, sehingga timbullah pertempuran kecil, yang berakhir dengan tewasnya seorang tentera Inggris.[27]
Beberapa jam setelah peristiwa “Oranje Bioscop”, markas Pesindo di Jalan Istana dan markas Pasukan Pengawal Pesindo di sekolah Derma dirazia oleh tentera Inggris. Di sepanjang Jalan Mahkamah dan Jalan Raja, tentera Inggris melakukan show of force. Tidak lama sesudah itu, markas TKR di bekas restoran Termeulen diobrak-abrik dan penghuninya diusir oleh tentera Inggris. Pada malam harinya para pemuda dan anggota TKR menyerang gedung itu dengan granat botol, sehingga gedung itu terbakar. Pada tanggal 7, 8, dan 9 Desember 1945, siang dan malam hari di mana-mana asrama tentara India-Inggris/NICA diserang oleh pemuda dan TKR. Akibat serangan itu tentara Inggris/NICA pada tanggal 10 Desember 1945 menyerang markas TKR di Deli Tua (Two Rivers). Tiga hari kemudian, Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly kembali mengeluarkan Maklumat yang meminta agar Bangsa Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada tentara Sekutu dan barang siapa memegang senjata di dalam kota Medan dan 8,5 Km dari batas kota Medan dan Belawan akan ditembak mati.
Untuk menindaklanjuti intruksi itu pada bulan Maret 1946 pasukan Sekutu/Inggris kembali melakukan razia ke basis-basis lasykar rakyat di sekitar Tanjung Morawa. Barisan Pelopor dan Lasykar Napindo yang berada berada di daerah ini kemudian mencegat pasukan Inggris sehingga terjadi baku tembak. Pertempuran kemudian berkobar selama dua hari dan akhirnya pasukan Inggris menarik pasukannya dari Tanjung Morawa. Namun demikian pasukan sekutu terus melakukan razia di dalam kota. Akibatnya pada pertengahan April 1946, Markas Divisi IV berserta seluruh stafnya dan Kantor Gubernur Sumatera dan semua jawatan-jawatannya pindah ke Pematang Siantar.
Sejak pindahnya Komando Militer dan Pemerintahan Republik ke Pematang Siantar pasukan Inggris setiap hari melancarkan serangan ke kubu-kubu TRI dan Lasykar Rakyat di sekitar Medan Area. Pada akhir bulan Mei, selama satu minggu mereka menggempur habis kampung-kampung di sekitar kota Medan. Akibat serangan itu tentu saja membuat penduduk sipil mengungsi ke luar kota, seperti ke Tanjung Morawa, Pancur Batu, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan sebagainya. Kampung-kampung seperti Sidodadi, Tempel, Sukaramai, Jalan Antara, Jl. Japaris, Kota Maksum, Kampung Masdjid, Kampung Aur, Sukaraja, Sungai Mati, Kampung Baru, Padang Bulan, Petisah Darat, Petisah Pajak Bundar, Kampung Sekip, Glugur, dan sebagainya menjadi sepi.[28]Meskipun demikian Inggris tidak leluasa bergerak ke luar kota, karena lasykar rakyat dan TRI siap menghadangnya.
Sampai akhir bulan Juli 1946 pasukan republik yang bertempur di Medan Area bergerak tanpa komando. Karena itu pada bulan Agustus 1946 dibentuklah Komando Resimen Lasykar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip Xarim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum. KRLMA membawahi lasykar Napindo, Pesindo, Barisan Merah, Hisbullah, dan Pemuda Parkindo. Setiap pasukan disusun dalam formasi batalion yang terdiri dari empat kompi. Medan Area dibagi dalam empat sektor dan tiap sektor terdiri atas dua sub-sektor. Markas Komando ditempatkan di Two Rivers (Treves).
Dalam pada itu Belanda mulai mengarahkan kekuatan militernya ke Sumatera dalam rangka mengamankan sumber ekonomi yang vital di Sumatera Timur. Untuk itu, maka pada awal bulan Oktober 1946 satu batalion pasukan bersenjata dari negeri Belanda mendarat di Medan. Beberapa hari kemudian diikuti dengan satu batalion KNIL dari Jawa Barat. Gerakan militer pasukan Belanda ini tidak bisa dilepaskan dengan adanya rencana Inggris yang ingin secepatnya meninggalkan Indonesia.[29] Semua instasi penting yang ada di Medan Area segera diserahkan kepada Komandan Militer Belanda. Pasukan Belanda kemudian mengambil alih semua tugas penyerangan terhadap pangkalan militer Republik di sekitar Medan Area. Unit-unit militer Republik, baik TRI maupun lasykar rakyat segera bereaksi menanggapi pengambilalihan Belanda dan mulai meningkatkan serangannya terhadap patroli-patroli Belanda maupun Inggris. Hingga akhir tahun 1946, berbagai bentrokan fisik antara kekuatan militer Republik dengan Belanda terus terjadi di segala front Medan Area.
Membuka awal tahun 1947, dibentuk “Komando Medan Area” (KMA) yang dipimpin langsung oleh perwira tinggi TRI, dan mengambil alih pimpinan operasi di front Medan Area dari tangan Resimen Lasykar Rakyat Medan Area (RLRMA). Resimen Lasykar Rakyat Medan Area dibubarkan. KMA kemudian melancarkan serangan yang dikenal dengan “Operasi 15 Februari 1947.” Operasi militer tanggal 15 Februari itu merupakan operasi besar-besaran yang pertama di Medan Area, yang melibatkan kekuatan TRI dan Lasykar Rakyat. Di sektor Barat dan Utara, dikerahkan pasukan TRI Divisi Gadjah II, pasukan Resimen Istimewa Medan Area (RIMA), dan dibantu oleh lasykar rakyat yang berada di sektor tersebut. Operasi di sektor itu dipimpin oleh Mayor Hasan Achmad, Komandan RIMA. Di sektor selatan dikerahkan pasukan-pasukan dari Resimen I, II, III Divisi Gadjah II Sumatera Timur dan dibantu oleh Lasykar Rakyat Medan Selatan. Operasi di sektor tersebut dipimpin oleh Mayor Martinus Lubis, Komandan Batalion I Resimen II Divisi Gadjah II.[30]
Dalam pertempuran tanggal 14-15 Februari, disamping gugurnya Komandan Batalion I Resimen II Divisi Gadjah II TRI, lebih dari 100 orang anggota lasykar dan TRI menderita luka berat dan ringan. Pertempuran itu juga telah menelan korban 17 orang penduduk sipil tewas dan 50 orang lainnya menderita luka-luka. Di sisi lain, sebanyak 70 buah rumah musnah terbakar. Di pihak Belanda telah gugur dalam pertempuran itu sebanyak 35 orang dan lebih 60 orang lainnya menderita luka-luka. Sebuah Mustang dan tiga buah pipercub mengalami kerusakan hebat dan sebuah tank brengun carrier rusak dan terbakar terkena granat di Jalan Mahkamah. Di Sukaramai, sebuah panser dapat dirampas oleh lasykar rakyat dan pengemudinya mati terbunuh dan lima kenderaan militer lainnya hancur. Dalam pertempuran itu, sebanyak dua kali lapangan terbang Polonia mengalami kerusakan, sehingga tidak dapat dipergunakan untuk beberapa saat.[31] Lemahnya koordinasi antar pasukan yang diakibatkan oleh buruknya sarana komunikasi dan lemahnya persenjataan, tampaknya menjadi faktor utama kurang berhasilnya serangan frontal tanggal 15 Februari 1947.
Serangan yang dikordinasi oleh KMA itu dihentikan, karena ada perintah penghentian tembak menembak (cease fire) pada tanggal 15 Februari 1947 jam 24.00. Sesudah itu Panitia Teknik genjatan senjata melakukan perundingan untuk menetapkan garis-garis demarkasi yang defenitif untuk Medan Area. Dalam perundingan yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis demarkasi yang melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang garis demarkasi yang dikuasai oleh tentera Belanda dengan daerah yang dikuasai oleh tentera Republik seluruhnya adalah 8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulailah pemasangan patok-patok pada garis demarkasi itu. Pertempuran dan insiden bersenjata antara kedua pihak selalu mempersengketakan garis demarkasi itu.
Memasuki bulan Juni 1947, hubungan antara pemerintah Republik dan Belanda semakin buruk. Perjanjian Linggarjati dan Gencatan Senjata di Sumatera Timur (Medan Area) tidak ditepati. Belanda mulai merusak perjanjian linggarjati dengan membentuk Negara Pasundan.[32] Di Sumatera Timur, Belanda melakukan tindakan profokatif untuk memecah belah persatuan antara rakyat dan Republik Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu Belanda bahkan mengedarkan candu, uang palsu, dan memberikan hadiah uang kepada kaki tangannya untuk membunuh perwira TRI dan tokoh-tokoh Republik.[33]
Mengantisipasi akan pecahnya konflik militer terbuka dengan Belanda, maka Presiden Soekarno tanggal 3 Mei 1947 memerintahkan penggabungan semua pasukan bersenjata ke dalam Tentara Nasional Indonesia.[34] Pada tanggal 13 Juli 1947 Jendral Suhardjo Komandan T.R.I. Territorium Sumatera memerintahkan semua kekuatan TRI dan Lasykar Rakyat di Sumatera segera bergabung ke dalam TNI. Namun demikian, sejumlah unit-unit Lasykar Rakyat tidak mau mematuhi perintah Suhardjo, terutama dari Pesindo dan Barisan Merah. Bahkan unit-unit yang diterima sebagai bagian dari TNI pun sedikit sekali yang patuh, karena mereka memiliki otonomi dalam aspek politik dan ekonomi. Bagi beberapa Lasykar Rakyat, pada umumnya terus beroperasi secara bebas seperti sebelumnya, mereka saling bersaing baik dengan Lasykar Rakyat lainnya maupun dengan TRI, terutama dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi sebagai sarana memperoleh senjata.[35]
Sumatera Utara Masa Revolusi Kemerdekaan 1947-1949
Perkembang hubungan Pemerintah RI dan pemerintah Belanda sampai bulan Juni dan Juli 1947 semakin memburuk. Perjanjian Linggarjati dan genjatan senjata di Sumatera Timur sering dilanggar. Pemerintah Belandapun terus memprovokasi para pendukung republik dengan mengedarkan uang palsu, candu dan memberikan hadiah kepada para “kaki tanganya” untuk membunuh tokoh tokoh republik.[36] Di sisi lain kondisi pertahanan dan Pemerintahan RI juga tidak kondusif, khususnya kondisi pertahanan di Sumatera Utara. Konflik antar berbagai lasykar rakyat sering terjadi meskipun sudah dibentuk Komando Medan Area yang mempersatukan semua kekuatan Republik di Sumatera Timur. Untuk itulah pada tanggal 20 Juli 1947, Wakil Presiden R.I. Mohammad Hatta tiba di Pematang Siantar dari Bukit Tinggi.[37] Di hari yang sama Perdana Menteri Belanda Dr. Bel memerintahkan pasukan Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai aksi polisionil[38] terhadap Republik Indonesia.
Pagi hari tanggal 21 Juli 1947, pasukan infantry Belanda yang didukung oleh kenderaan lapis baja, artileri, dan pesawat tempur menyerang basis-basis pertahanan pasukan republik di Medan Area. Dalam 24 jam pasukan Belanda berhasil menduduki Stabat, Binjai, dan Tandem Hilir. Sehari kemudian pasukan Belanda memasuki Sungai Bingai dan Deli Tua. Dalam tempo singkat mereka kemudian dapat menduduki kota Tanjung Pura, Lubuk Pakam, Perbaungan, Medan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Seribu Dolok, Berastagi, Kabanjahe, dan Tanjung Balai.[39]
Wakil presiden Mohammad Hatta, Gubernur Sumatera , Mr. T.M. Hasan dan para pejabat pemerintahan propinsi meninggalkan Pematang Siantar menuju kota Bukit Tinggi. Maraden Panggabean ditugaskan oleh Komandan Divisi VI untuk mengamankan perjalannya rombongan Wakil Presiden dari Sibolga sampai ke perbatasan Tapanuli- Sumatera Barat. Sementara itu, Residen Sumatera Timur, Abu Bakar Djaar memindahkan pusat pemerintahannya dari Tebing Tinggi ke Tiga Binanga (Tanah Karo) dan kemudian pindah lagi ke Padang Sidempuan. Semua pasukan republik (lasykar dan TRI) mengundurkan diri ke daerah Tapanuli dan Aceh.
Meskipun dengan cepat pasukan Belanda berhasil menguasai kota-kota penting di Sumatera Timur, tetapi pasukan Belanda tetap mendapat perlawanan sengit dari pasukan republik. Dalam upaya menguasai Parapat, Pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit di Aek Nauli sekitar 30 Km dari Petamatang Siantar. Satu Batalion pasukan Resimen II-Divisi VI Tapanuli dibawah pimpinan Mayor Jese Simanjuntak ikut menggempur pasukan Belanda. Namun karena gerak maju pasukan Belanda sulit terbendung, maka Mayor Jese Simanjuntak meminta bantuan Maraden Panggabean untuk menghancurkan terowongan (batu lubang) -sebagai pintu masuk yang menghubungkan Tiga Dolok –Parapat- untuk menghempang laju pasukan Belanda ke Parapat. Dengan alat-alat yang sederhana, pasukan Maraden mencongkel batu-batu dan digelindingkan ke ruas jalan hingga dapat menghambat gerakan pasukan Belanda, tetapi terowongan batu itu masih tetap ada. Karena itu, dengan dibantu Letnan Agust Marpaung dan Parlindungan Hutagalung, Maraden Panggabean meledakkan sebuah jembatan dengan bom sisa peninggalan Jepang. Tapi usaha ini hanya berhasil merubuhkan jembatan,sementara terowongan masih eksis. Pekerjaan ini sangat mencekam karena pesawat terbang Belanda terus mengintai dari udara dan pertempuran di Aek Nauli demikian kuat terdengar di sekitar terowongan itu. Memang ada usaha untuk menghancurkan terowongan itu lagi, tetapi karena tak ada waktu, maka Maraden dan pasukan segera meninggalkan daerah dan Parapat akhirnya berhasil dikuasai Belanda.[40]Dengan jatuhnya Parapat maka pintu masuk ke Tapanuli sudah terbuka bagi pasukan Belanda. Pasukan republik kemudian mengundurkan diri ke daerah Tapanuli dan mulai melakukan konsolidasi.
Setelah agresi militer I kondisi pasukan republik di daerah pengungsian ternyata mengalami masalah karena banyak yang tercerai berai dari induk pasukannya. Banyak anggota pasukan kehilangan induknya dan bergabung dengan pasukan lainnya. Dalam kenyataannya kemudian timbul masalah untuk mempersatukan seluruh pasukan menjadi satu komando. Suatu hal ini yang sangat penting untuk menghempang serangan Belanda ke Tapanuli. Pada tanggal 15 Agustus 1947 di Tanah Jawa (Simalungun) telah dibentuk Brigade XII dengan Komandannya Ricardo Siahaan,[41] yang mempersatukan semua kekuatan militer yang berasal dari Sumatera Timur yang berada di Parapat dan Labuhan Batu. Sementara Divisi VI/Banteng Negara diubah namanya menjadi Brigade XI dibawah komandannya Kolonel Pandapotan Sitompul. Maraden Panggabean dipercaya menduduki Komandan Resimen I yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Resimen I membawahi 2 batalion yakni battalion I di pimpin Kapten Koima Hasibuan dan battalion II dipimpin Kapten Oloan Sarumpaet. Keduanya beroperasi di Padang Sidempuan-Sipirok dan Sibolga-Barus.
Sementara itu Wakil Presiden Mohammad Hatta dari Bukit Tinggi langsung mengendalikan roda Pemerintahan Republik di Sumatera Urara. Sistem gabungan Pemerintahan sipil dan militer diterapkan untuk menghadapi kemungkinan pasukan Belanda melakukan serangan kembali. Daerah Aceh, Langkat dan Karo dijadikan satu pemerintahan Gubernur Milter dengan Gubernur Militernya Tengku Daud Berueueh berkedudukan di Kutaraja, Banda Aceh. Daerah Tapanuli dan sebagian Sumatera Timur seperti Labuhan Batu, Deli Serdang, Simalungun dan Asahan ditempatkan dibawah kekuasaan Gubernur Militer Dr. Gindo Siregar yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Tugas berat menanti Dr. Gindo Siregar, mengingat didaerah kekuasaanya persoalan pengungsi dan intrik antar pasukan demikian sulit dikendalikan ditambah lagi masalah logistik yang demikian sulit masa itu. Maraden Panggabean sangat mengerti kesulitan yang dihadapi Gubernur Militer dan Kolonel Ricardo Siahaaan sebagai Komandan Brigade XII. Karena itu dengan semangat rela berkorban ia serahkan Markas Komandonya untuk dijadikan Kantor Gubernur Militer Dr. Gindo Siregar. Tidak hanya itu, rumahnyapun dijadikan tempat penampungan para pasukan Ricardo Siahaan yang selalu berurusan dengan Dr. Gindo Siregar.[42]
Konsolidasi TNI terus dilakukan mengingat adanya rencana Belanda akan melakukan agresi militer kembali. Jendral Suhardjo Hardowardjoyo ditarik ke Kementerian Pertahanan di Yogajakarta dan digantikan oleh Kolonel Hidayat. Wilayah Sumatera dibagi dalam 4 Teritorium yakni; Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Tapanuli Sumatera Timur dan Aceh dengan nama Komando Tentara dan Teritorium Sumatera. Daerah Tapanuli Sumatera Timur bagian Selatan menjadi Sub-Teritorium VII Komando T.T Sumatera, dibawah Komandan Letnan Kolonel Kawilarang berkedudukan di Sibolga.[43]Kawilarang membagi Sub-Terotorium VII menjadi empat sektor yakni Sektor I dibawah Mayor Bedjo berkedudukan di Padang Sidempuan, Sektor II dibawah Mayor Liberty Malau berkedudukan di Tarutung, Sektor III dibawah Mayor Selamat Ginting berkedudukan di Sidikalang dan Maraden Panggabean dipercaya sebagai komandan Sektro IV yang berkedudukan di Sibolga.[44]Ada satu sektor yang dekenal dengan Sektor “S” dengan komandannya P. Simanjuntak. Sektor ini merupakan satu unit pasukan angkatan laut yang berpangkalan di Sibolga. Residen Tapanuli tetap dipegang oleh dr. F.L. Tobing.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Saat pasukan Belanda memasuki kota Tarutung tanggal 23 Desember 1948, markas TNI Sektor II sudah dipindahkan semuanya ke Simorangkir. Pasukan Belanda tidak menghadapi perlawanan yang berarti di Tarutung. Pertama kali kota Balige diserang oleh Belanda dari Udara pada pukul 5 pagi dengan dua pesawat Bomber dan tujuh Jager. Setelah penyerangan itu selanjutnya pasukan infantri Belanda masuk melalui Danau Toba. Kemudian pada jam 11 siang pasukan Belanda menyerang kota Tarutung. Hanya dalam tempo singkat kota-kota besar di Tapanuli seperti Tarutung, Balige, Porsea, dan Siborong-borong dapat dikuasai oleh Belanda. Meskipun demikian perlawanan gigih sempat diberikan oleh Batalyon I untuk menghempang gerak laju pasukan Belanda ke arah Pahae. Akibat gempuran yang terus menerus maka markas pasukan dipindahkan lagi ke Sipahutar.
Dalam menyusun strategi perang TNI secara umum tidak melakukan perlawanan frontal terhadap serbuan musuh. Secara teratur mereka menyingkir ke luar kota dan keluar jalan-jalan raya yang berada dibawah kendali pasukan Belanda. Mereka kemudian melakukan konsolidasi untuk menciptakan taktik gerilya[45] dari daerah pedalaman. Sesuai dengan konsep perang gerilya, maka sistem pemerintahan juga diorganisasikan sesuai dengan kepentingan perang gerilya. Saat itu sistem pemerintahan republik merupakan gabungan dari unsur-unsur sipil dan militer. Setiap komandan batalyon diberi wewenang oleh Komandan TNI Sub Teritorium VII untuk membentuk pemerintahan gerilya di daerah pedalaman. Secara hirearkhis struktur pemerintahan gerilya di Sumatera adalah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (P.D.R.I.), Komandan TNI Teritorium Sumatera, Komandan Sub Sektor Teritorium VII, Komandan Sektor dan Komandan Batalyon Pasukan TNI mampu membentuk pemerintahan gerilya di daerah pedalaman, termasuk di Tapanuli Utara.
Wewenang yang diberikan kepada Komandan Daerah Militer sangat luas, yakni mengatur keadaan politik, ekonomi, dan sosial, termasuk mengatur Pertahanan Rakyat Semesta (PRS). Berdasarkan wewenang itu, maka seluruh masyarakat dimobilisasi dan seluruh kekayaan yang terdapat didaerah itu diblokir untuk kepentingan perang gerilya. Dengan demikian daerah pedesaan diperkuat, sehingga musuh hanya dapat menguasai kota.
Pada tahun 1949 secara teritorial aktivitas gerilya TNI telah menjangkau kawasan yang cukup luas. Operasi gerilya TNI atau Pertahanan Rakyat Sumatera (P.R.S.) telah diarahkan untuk memperoleh senjata, bahan-bahan pakaian, makanan, obat-obatan dari musuh. Untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara menyerbu dan menyergap pos-pos Ondernemings Wachters(O.W.) dan polisi, dan konvoi militer Belanda. Usaha sabotase itu dilakukan dengan membakar dan memusnahkan bangsal-bangsal tembakau, gudang, dan kilang-kilang di perkebunan, membabat tanaman tembakau, merusak pohon-pohon karet, membunuh pengusaha-pengusaha perkebunan serta pegawai-pegawainya yang dibenci buruh, merusak jembatan-jembatan, dan menanam ranjau darat pada jalan-jalan yang dilalui aparat militer dan pasukan musuh.[46] Selama tiga bulan frekuensi serangan gerilya TNI terhadap patroli-patroli militer Belanda semakin meningkat.
Di Langkat, pada bulan Januari 1949 serangan gerilya secara intensif masuk dari Aceh. Serangan ini dipusatkan ke Pangkalan Brandan, Tanjung Pura, Namu Unggas, Kuala Namu dan Gebang. Beberapa perkebunan menjadi tidak aman; jalan-jalan di perkebunan ditanami ranjau dan banyak instalasi perkebunan yang dibakar . Pada tanggal 14 Januari 1949, bangsal buruh dan gudang getah yang berisi 20 ton getah karet dibakar. Serangan seperti ini tidak hanya terjadi di daerah Langkat, tetapi juga terjadi dihampir seluruh wilayah N.S.T. Pada tanggal 17 Februari 1949 sebuah serangan gerilya TNI terhadap Perkebunan Tembakau Klambir V/ Klumpang menyebabkan 3 pengusaha perkebunan bangsa Belanda meninggal dan 33 bangsal tembakau hancur. Serangan ini cukup berhasil karena para buruh perkebunan ikut membantu. Dalam serangan itu ikut dirampas 17 senapan dan 2 pistol Serangan terhadap perkebunan Klambir V Klumpang menarik perhatian para petinggi militer Belanda dan penguasa N.S.T. Sejumlah pejabat seperti Komisaris Kerajaan Belanda untuk Sumatera Timur, Komandan militer Belanda Jenderal P. Scholten dan anggota Kabinet N.S.T. menghadiri pemakaman 3 pejabat perkebunan tersebut.
Di Simalungun, wilayah-wilayah disekitar jalan raya dari Lima Puluh ke Kisaran dan dari Tanah Jawa dijadikan pangkalan operasi Gerilya TNI dari Asahan dan Tapanuli Selatan. Serangan gerilya TNI dari Samosir masuk ke Simalungun menyerang pos-pos Barisan Pengawal N.S.T. dan merampas pesersenjataan mereka. Di Asahan Selatan/Labuhan Batu aksi-aksi sabotase terjadi di Sungai Kepayang, Merbau, Sipare-pare dan daerah Aek Kota Batu.[47]
Para kepala desa dan pegawai N.S.T. yang bertugas di dalam daerah yang dekat dengan pangkalan gerilya TNI telah menjadi sasaran utama serangan gerilya. Di Tanah Karo misalnya selama bulan April gerilya TNI telah memasuki desa-desa di Deli Hulu sebanyak 90 kali dan menyerang kepala desa dan pegawai N.S.T., setempat yang dituduh sebagai kolaborator. Akibatnya 70 kepala desa tidak berani lagi tinggal di daerah itu dan ikut mengungsi ke pos-pos tentara keamanan Belanda atau ke Brastagi dan Kabanjahe. Kepala kampung N.S.T. yang mau bekerja sama tetap tinggal di wilayah itu. Di dalam wilayah yang ditinggalkan itu, TNI mengangkat kepala-kepala kampung yang baru, bahkan ada satu desa memiliki dua kepala kampung.[48]
Memasuki bulan Maret aktivitas serangan gerilya TNI semakin meningkat. Para buruh perkebunan yang kemudian beralih menjadi petani ikut dalam aksi serangan gerilya terhadap perkebunan-perkebunan. Daerah Simalungun sejak tanggal 24-27 Maret telah disusupi oleh rombongan TNI, PRS, pemerintahan sipil, Tentara Pelajar dan kepolisian. Mereka membangun markas/pemerintahan militer di daerah Tigadolok, Sektor Pematang Siantar, Pane Tonga/Sidamanik, di sekitar Tanah Jawa dan Tebing Tinggi. Dari sinilah aksi-aksi gerilya dilancarkan terhadap perkebunan-perkebunan dan pos-pos O.W./ Barisan Pengawal N.S.T. dan patroli pasukan Belanda. Beberapa anggota Barisan Pengawal ditawan, 25 buah senjata api dan 2 pistol, 1 senapan, 20 stel pakaian seragam dan amunsi, sepuluh termos, dan dua puluh rantang makanan dirampas. Di Tanah Karo (Bandar Baru) juga terjadi serangan terhadap patroli Militer Belanda yang menyebabkan seorang perwira anggota Komisi Tiga Negara (K.T.N.) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tewas.[49]
Aktivitas serangan gerilya kemudian sampai pada tingkat melakukan penyusupan ke wilayah Langkat Hulu., Serdang Hulu, Tanjung Muda Hulu, Tanjung Muda Hilir dan Senembah Hulu. Di Simalungun (Tanah Jawa dan Tiga Dolok) dan Asahan Labuhan Batu serangan gerilya semakin meningkat. Di Rantau Prapat serangan terhadap O.W. berhasil membujuk anggota O.W. bergabung dengan T.N.I. Di daerah ini serangan terhadap perkebunan Bah Lia dan Muriah Banda berasil merampas 26 karaben, 1 bren, 3 sten, 5 buah pistol, 16 peti peluru, 20 peti pakaian, 2 mesin ketik dll. Tujuh anggota O.W. tewas, dan 12 luka-luka. Kepala administrasi perkebunan berbangsa Belanda tewas.Di Aek Pangka Asahan, rumah administartor perkebunan dirampok, 4 orang O.W. dengan 2 senapan dan sejumlah amunisinya dibawa kabur. Demikian juga di Panigoran rumah pejabat perkebunan dibakar, asisten dan kantor-kantor perkebunan dibakar.[50] Pemerintahan TBA di Tapanuli juga hanya eksis di kota-kota, sepanjang radius 5 km.[51] Dil luar itu adalah merupakan daerah kekuasaan pemerintahan Gerilya Republik. Akibatnya Belanda terpaksa mengamini seruan Dewan Keamanan PBB untuk melakukancease fire.
Melalui perundingan yang dilakukan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1949 dihasilkan suatu persetujuan yang dinamakan Roem Royen Statement. Dalam perjanjian itu disepakati antara lain tentang penghentian tembak menembak, pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta, Konfrensi Meja Bundar, dan pengakuan akan status RI dalam Negara Indonesia Serikat yang akan dibentuk kemudian.[52]
Pada tanggal 2 November 1949 tercapailah persetujuan KMB di Den Haag yang isinya antara lain bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada bulan Desember 1949. Hasil KMB itu tentu saja melegakan rakyat Indonesia termasuk rakyat Tapanuli Utara. Upacara-upacara penyerahan kembali kekuasaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia berlasung di seluruh wilayah Jawa dan Sumatera termasuk di Tapanuli. Di Balige tanggal 13 Desember dan di Tarutung tanggal 14 Desember 1949. Dengan demikian menjelang pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, seluruh daerah Tapanuli telah sepenuhnya kembali menjadi wilayah Republik Indonesia. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan berjalan lancar berkat adanya kerjasama antara TNI dan masyarakat lainnya.
Penutup
Daerah Sumatera Utara memberikan andil besar dalam proses pembentukan pemerintahan negara Republik Indonesia. Semangat revolusioner penduduknya yang muncul ketika itu sebenarnya buah dari penubuhan semangat kebangsaan yang telah digelorakan oleh parta-partai politik, organisasi sosial dan pers pada masa sebelumnya. Kehadiran beberapa tokoh nasional seperti Muhammad Hatta, Amir Syarifuddin pada masa itu menunjukkan betapa pentingnya daerah ini baik secara ekonomi dan politik bagi mendukung kelangsungan pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Berbagai peristiwa ditingkat lokal di Sumatera Utara malah menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari peristiwa nasional. Peristiwa yang menyertai proses penggabungan Negara Sumatera Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Mei-Agustus 1950, menyita banyak perhatian dan tenaga dari kalangan tokoh-tokoh nasional di Jakarta[53]. Perdana Menteri RIS, M.Hatta dan wakilnya Wangsa Wijaya, dan pejabat senior RIS seperti; Sumitro Kolopaking, Makmum Sumadipraja, dan Anak Agung Gde Agung, hadir di sini untuk memberikan arahan agar proses sejarah yang berlangsung tidak mengancam integrasi bangsa.
Oleh karena itu, proses bergabungnya Negara Sumatera Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berjalan damai, tanpa pertumpahan darah, meskipun diliputi dengan suasana yang panas. Pada 15 Agustus 1950, Dr. Mansoer (Wali Negara Sumatera Timur) secara resmi menyerahkan wewenang Pemerintahan NST kepada Ketua Panitia Persiapan Negara Kesatuan Sumatera Timur (PPNKST), Sarimin Reksodihardjo. Sumatera Timur digabungkan kembali dengan Tapanuli dan Aceh menjadi Propinsi Sumatera Utara dengan ibukotanya Medan.