Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (1)
Bekas Montir yang Dijuluki Harimau Sumatera
Ribuan
warga kota Medan setiap harinya melintasi jalan yang diberi nama sama
dengan namanya, Jalan Brigjend Bedjo. Namun tidak banyak yang kenal
siapa dia dan apa jasanya kepada kemerdekaan Indonesia. Pria Pujakesuma
ini lahir di Medan namun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Seperti apa sepak terjangnya?
Diana Saragih-Medan
Suasana
jembatan layang Pulo Brayan tidak pernah sepi dari kendaraan yang lalu
lalang. Jembatan yang dibangun sejak 1992 dan selesai pada 2003 itu
merupakan jalur yang menghubungkan dua jalan yakni Jalan Pertempuran
dan Jalan Brigjend Bedjo di Kelurahan Pulo Brayan.
Tidak banyak
warga generasi zaman ini di kawasan itu yang tahu bahwa dua nama jalan
tersebut berhubungan dengan peperangan militer pada masa perang
kemerdekaan. Jalan yang dipisah oleh persimpangan Pulo Brayan ini
memang merupakan salah satu jalur pertempuran dari Perang Medan Area
pada 1947 lalu. Namun tidak banyak warga yang mengetahui sejarah itu dan
siapa sosok Brigjend Bedjo, yang kemudian diabadikan namanya menjadi
salah satu jalan di Kecamatan Medan Timur itu.
“Dulu nama Jalan
Brigjend Bedjo adalah Jalan Cemara, karena di sini dulunya banyak
sekali pohon Cemara. Tapi sejak pertengahan 1990-an namanya diganti,”
kata Herlina Purba (57), salah satu warga Jalan Brigjend Bedjo Medan.
Saat
ditanya koran ini apakah dia mengenal sosok Brigjend Bedjo, perempuan
yang sejak tahun 1979 tinggal di daerah itu bersama keluarganya mengaku
tidak kenal siapa Brigjend Bedjo, dan mengapa jalan Brigjend Bedjo
tadi diletak di sana. Tidak pernah ada sosialisasi nama jalan oleh
pejabat setempat, tahu-tahu dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka
alamat Jalan Cemara sudah berganti bernama Jalan Kolonel Bedjo dan
belakangan menjadi Brigjend Bedjo.
Hal ini cukup dimaklumi, sebab
tidak banyak media yang memaparkan sosok pejuang kota yang kemudian
dikenalkan dan diabadikan melalui nama jalan. Setelah ditelusuri
melalui sejumlah narasumber dan pustaka barulah diketahui siapa sosok
Brigjend Bedjo ini. Dia adalah putra Jawa kelahiran Sumatera, seorang
pejuang perang kemerdekaan yang awal keikutsertaan dirinya dalam
pasukan militer tidak diawali dari pendidikan kemiliteran sama sekali.
Beberapa
hari mencoba menelusuri jejak Brigjend Bedjo, koran ini akhirnya
menemui sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr phil
Ichwan Azhari. Dari dialah kemudian diketahui bahwa Pusat Studi Sejarah
dan Ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed mengoleksi buku biografi Brigjend
Bedjo karangan Edisaputra yang diterbitkan Yayasan Bina Satria-45. Buku
itu diterbitkan pada 1985, setahun setelah Brigjend Bedjo wafat.
Tepatnya pada 28 Mei 1984 lalu.
Siapakah Brigjend Bedjo?
Bedjo
dilahirkan pada 10 Desember 1919 di sebuah kampung kecil di kawasan
Medan Timur bernama Tanjung Mulia. Ayahnya bernama Sattar, berasal dari
daerah Gunung Jeruk Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dengan demikian
ia adalah warga Medan putra Jawa kelahiran Sumatera (pujakesuma).
Setelah
tamat dari melanjutkan sekolah desa, Bedjo yang bercita-cita ingin
menjadi ahli teknik melanjutkan sekolah ke Ambach School di Medan, dan
sore harinya belajar di Perguruan Agama Islam Aljamiyatul Wasliyah, di
Pulo Brayan. Setelah menamatkan sekolahnya iapun bekerja pada
perusahaan bengkel milik Belanda sebagai tenaga montir.
Begitu
Belanda berhasil diusir oleh Jepang, Bedjopun berganti majikan, Jepang.
Di samping menjadi montir di bengkel Jepang, Bedjo juga membuka
bengkel kecil di rumah ibunya di Jalan Amplas, Medan. Khususnya membuat
cangkul, rantang, dan sekrup-sekrup. Tapi beakangan, bengkel itupun
kemudian berfungsi ganda. Yakni turut pula menjadi markas gelap gerakan
antifasis yang disebar lewat ceramah dan diskusi dengan sejumlah tokoh
pemuda seperti Slamat Ginting dan Liberty Malau, yang juga merupakan
bagian dari pasukan bersenjata di Sumut. Saat itu Bedjo belum masuk
dunia militer.
“Awal perjalanan karirnya di militer adalah tanpa
sengaja. Saat Belanda terdesak oleh kedatangan pasukan Jepang, warga
pribumi dipaksa masuk milisi oleh Belanda. Namun keahlian militer yang
dipelajarinya kemudian malah ia pakai untuk menghabisi Belanda. Saat
itu warga pribumi mendapat bantuan militer dari sisa Jepang,” kata Dr
phil Ichwan.
Pertama sekali Bedjo merintis rasa nasionalisme dalam
dunia keprajuritan, adalah ketika Barisan Pemuda Indonesia bentukan
tokoh pemuda Medan, Soegondho, membuat panitia besar Rapat Umum
Kemerdekaan RI di Medan. Yakni pembacaan teks Proklamasi Indonesia 17
Agustus 1945, yang baru diketahui warga Sumut sebulan kemudian. Pada 1
Oktober 1945 di Lapangan Merdeka Medan, ribuan warga Sumut berkumpul
untuk memekikkan kemerdekaannya. Saat itu Gubernur Sumatra Timur, Mr T
Muhammad Hasan yang memimpin rapat. Nah, Bedjo dan ratusan pemuda
lainnya mengambil peran sebagai pasukan pengaman momen bersejarah itu.
Karena diduga kuat ada pihak-pihak asing yang akan mengacaukan
perhelatan akbar itu. Terbukti, dua buah granat aktif berhasil disita
dari tangan warga pengkhianat saat akan melaksanakan aksinya.
Perjalanan
militer Bedjo baru mulai memasuki tahap pertempuran yang sesungguhnya
adalah ketika pasukan asing kembali mendarat di Medan. Kala itu warga
kota dihadapkan kepada pasukan NICA (Netherland Indies Civil
Administration) yang diboncengi Inggris untuk menguasai lagi sejumlah
daerah Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI termasuk daerah
Sumatera Timur. Saat itu, Bedjo mulai masuk dalam sebuah pasukan milisi
yang dipersenjatai dari hasil jarahan gudang senjata Jepang dulu.
Perang
dahsyat dan bertubi-tubi dilalui pasukan Bedjo. Dengan merampas gudang
senjata dan makanan Jepang, termasuk hasil perkebunan seperti karet
dan tembakau yang saat itu sangat berdaya jual tinggi, pasukan Bedjo
mendapat persediaan logistik. Meskipun demikian, tentu saja
perbandingan persenjataan dan daya tahan antara pasukan Belanda dan
Indonesia sangat jauh. Namun tekad ‘sekali merdeka tetap merdeka’
menjadi pekik dan motivasi untuk terus melawan dari penjajahan.
Bedjo
dan sejumlah pasukan yang terbentuk di bagian-bagian wilayah, terus
melakukan adu senjata dengan pasukan musuh. Namun yang paling
terkenal-karena akhirnya mampu memukul mundur pasukan NICA yang datang
dari pelabuhan Belawan- adalah upaya pasukan Laskar Rakyat Medan Area.
Menurut Dr Ichwan, Perang Medan Area merupakan salah satu mata rantai
peristiwa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan berdasarkan
Proklamasi 17 Agustus 1945, yang telah terjadi di beberapa tempat dalam
lingkungan wilayah Indonesia. Antara lain Peristiwa 10 November 1945
di Surabaya, Palagan Ambarawa di Jawa Tengah, Desember 1945, Bandung
Lautan Api di Jawa Barat, Maret 1946, Peristiwa Merah Putih di Manado
14 Februari 1946.
Nah, dalam perang ini Bedjo, yang sudah
berpangkat Mayor, adalah salah satu pemimpin pasukan pada Perang Medan
Area. Serangan Umum Laskar Rakyat Medan Area yang terjadi pada 27
Oktober – 3 Nopember 1946, berhasil menguasai setengah lebih wilayah
Kota Medan dari pendudukan Sekutu yang baru menang Perang Dunia ke-II,
mereka merapat melalui pelabuhan Belawan sejak tanggal 4 Oktober 1945.
Kala itu pasukan NICA dipimpin Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly.
“Karena
kegigihan dan kenekatannya dalam memerangi Belanda, Brigjend Bedjo
dijuluki Harimau Sumatera. Bahkan warga Tapanuli menyebutnya Si Tangan
Besi,” tambah Ichwan.
Betapa tidak, Bedjo mengalami pertempuran
bersama pasukannya dari kawasan Timur hingga Barat Sumatra Utara.
Pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman bersejarah berupa kinerja
Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area ini adalah bahwa sumber
kekuatan pertahanan suatu bangsa yang sedang berevolusi melawan kaum
penjajah yang bersungguh-sungguh hendak berkuasa kembali, terletak pada
persatuan seluruh rakyat yang berjuang dengan semangat yang
berkobar-kobar serta rela memberikan korban-korban yang paling
fantastis.
“Brigjend Bedjo yang awalnya bukan militer akhirnya
dengan semangat nasionalisme menjadi salah satu pejuang paling
berpengaruh dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan,” pungkas
Ichwan. (bersambung)
Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (2)
Selamatkan Nyawa Menteri, Jadi Inspirasi Film Nagabonar
Dua
catatan penting lain menyangkut sosok Bedjo adalah ketangguhannya
memimpin pasukan yang berhasil menyelamatkan seorang Menteri dan
membunuh seorang pemimpin pasukan Belanda bernama Jenderal Spoor. Siapa
dan bagaimana ceritanya?
Diana Saragih-Medan
Tahun
1947. Suasana di Kawasan Helvetia dan Titi Papan di kota Medan cukup
menegangkan. Pasukan Belanda yang kembali datang untuk menguasai
asetnya di kawasan Sumatra Timur pasca hengkangnya Jepang dari Bumi
Indonesia, mendesak pasukan Indonesia untuk angkat senjata lagi. Padahal
dua tahun lalu, Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya. Dalam
masa menjelang penentuan garis demarkasi dengan Belanda di Medan Area
tahun 1947, pasukan-pasukan bersenjata dari Aceh yang terdiri dari
Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang tergabung dalam Resimen Istimewa
Medan Area (RIMA) dikerahkan ke Medan. Waktu itu dalam pasukan RIMA itu
ada Bustanil Arifin, seorang perwira militer yang saat itu berpangkat
Sersan Mayor. Dia adalah sosok yang kemudian diangkat menjadi Menteri
Koperasi RI pada era 1980-an.
Waktu itu kompi Bustanil bertugas
menggempur musuh dari Pasar 1, yang terletak di antara Kelambir V
Helvetia dan Klumpang Titi Papan. Komandan kompi RIMA pada waktu itu
kebetulan sakit, maka Bustanil pun ditugaskan menggantikannya. Ketika
itulah terjadi pertempuran yang menegangkan tadi. Kompinya terkepung
pasukan musuh dan terdesak untuk bersikap memilih, menyerah atau hancur
di tangan lawan. Sudah 17 prajurit yang tewas.
Bustanil pun
tidak kehilangan akal. Ia lalu mengutus seorang kurir untuk meminta
bantuan kepada Bedjo yang kedudukan pasukannya, yakni Batalyon/Napindo
Medan Utara, bersebelahan dengan kompinya. Pasukan Bedjo merespon cepat
panggilan itu. Mereka kemudian langsung maju menggempur tentara
Inggris dan Belanda lewat pasukan NICA-nya. Lepaslah bahaya maut yang
sudah menunggu tadinya.
“Saya berhutang nyawa kepada Pak Bedjo,”
kata Bustanil, yang disampaikannya saat pertemuan silaturahim para
pejuang kemerdekaan eks TNI Stoottoep Brigade ‘B’ Komandemen Sumatra di
Jakarta pada 15 Mei 1983 lalu. Pengalamannya itu, diselamatkan oleh
Bedjo, ia kenang hingga berpuluh tahun kemudian.
Sosok Bedjo pun
dikenal oleh eks TNI kemerdekaan, karena pasukannya pernah berhasil
menembak mati seorang jenderal Belanda bernama Jenderal Spoor. Ketika
itu, pasukan Belanda terus mendesak pasukan Indonesia hingga ke wilayah
barat Sumatra Utara. Pasukan Bedjo yang dikenal sebagai pasukan
Selikur, berhadapan dengan konvoi pasukan Belanda yang dipimpin
Jenderal Spoor. Pada 23 Mei 1949, konvoi itu kemudian diserang oleh
pasukan Selikur di Bukit Simagomago, kota Padang Sidempuan. Banyak
pasukan Belanda yang tewas, termasuk Jenderal Spoor. Namun. sempat
beredar berita sumir bahwa kematian Jenderal Spoor adalah akibat
serangan jantung. Namun diyakni Bedjo bahwa Spoor mati karena luka-luka
serius yang dialaminya, dan isu sakit jantung itu digunakan Belanda
untuk meredam euforia kemenangan di kalangan pasukan pribumi.
Belakangan,
nama Mayor Bedjo semakin dikenal karena kegigihannya. Januari 1948,
Bedjo memimpin perundingan garis demarkasi dengan Belanda di Prapat.
Namun pertemuan itu berakhir tanpa kesepakatan apapun, sebaliknya
justru berakhir perang. Belanda kembali menyerbu pasukan Bedjo, hingga
ia terdesak dan sempat disangka tewas dalam pertempuran itu. Namun
sangkaan itu tinggal ispan jempol belaka, sebab Mayor Bedjo masih hidup
dan ikut berperang bersama pasukannya di beberapa daerah lain di
Sumut.
Melihat itu, sebagian masyarakat saat itu meyakini bahwa
Bedjo memiliki ilmu menghilang dan tahan peluru. Atas pandangan ini,
Bedjo dalam biografinya sempat berkata bahwa nyawanya masih dilindungi
Tuhan, makanya ia masih sempat menghirup udara kemerdekaan selama lebih
kurang 40 tahun kemudian.
Nah, pertanyaan lain tentang sosok
Bedjo ini adalah mengenai kebenaran bahwa Bedjo merupakan sosok
Nagabonar dari Sumatra Timur yang muncul dalam film tersebut. Terkait
hal itu, Dr phil Ichwan sepakat atas dugaan itu. Namun, tokoh Nagabonar
adalah gabungan beberapa tokoh pahlawan kemerdekaan periode 1948-1949
yang berhasil diramu oleh sang penulis skenario, Asrul Sani. Untuk
sosok Nagabonar, Asrul Sani mengambil latar belakang Bedjo yang tidak
memiliki basis pendidikan militer namun bisa memegang pangkat tinggi
tanpa sepengetahuan tentara pusat. Makanya dalam satu adegan ada upaya
pusat melakukan klarifikasi pangkat terhadap petinggi militer di
daerah, namun mendapat bantahan dari Nagabonar.
“Karena memang
pada masa itu ada istilah bagi-bagi pangkat, seperti yang ada dalam
film Nagabonar itu. Namun cerdasnya film itu terletak dari kemampuan
sang pembuat film mengangkat karakter pejuang daerah ke kancah
nasional,” tukas Ichwan. (bersambung)
Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (3)
Hatta Kirim Surat Pujian dan Penghargaan Pribadi
Jasa-jasa
Bedjo sebagai pemimpin pasukan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Utara
tidak bisa dipungkiri lagi. Selain menyelamatkan seorang perwira yang
kemudian menjadi menteri, Bedjo juga berhasil memimpin pasukan untuk
menggempur Belanda dan hal tersebut mendapat apresiasi yang tinggi dari
pejabat pemerintahan pusat kala itu. Meskipun namanya diabadikan
menjadi nama jalan di kota Medan, namun usulan menjadikannya pahlawan
nasional belum kesampaian. Kenapa?
Diana Saragih-Medan
Mantan
presiden Amerika Serikat yang juga merupakan pahlawan kemerdekaan
mereka, Abraham Lincoln pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa
yang tahu menghargai jasa pahlawan bangsanya. Hal ini pulalah yang
mendasari eks pejuang dan pemuka masyarakat asal Sumatra Utara di
Jakarta untuk mengabadikan nama Bedjo, menjadi nama satu jalan di kota
Medan.
Eks pejuang dan pemuka itu antara lain Mr T Muhammad Hasan
(mantan Gubernur Sumatra Timur), HM Said (tokoh pers Sumut), Mayjen AE
Manihuruk, Letjen Hidayat (eks Panglima Komando Sumatra), Slamat
Ginting (eks Komandan Sektor III Komandemen Sumatra), dan Mayjen
Richardo Siahaan (eks Komandan Komando Medan Area). Mereka mengirim
surat kepada DPRD Kota Medan pada 10 Agustus 1984 yang ditembuskan
kepada Menteri Dalam Negeri dan Panglima Kowilhan I serta Gubsu, agar
nama Bedjo yang pada akhir hayatnya berpangkat Kolonel TNI
Purnawirawan, menjadi nama jalan. Hal ini dilakukan agar jasa dan
pengabdiannya kepada tanah air bisa selalu dikenang. Usulan ini pun
disetujui, dan hingga kini Jalan Brigjend Bedjo masih ditemukan di kota
Medan.
Satu hal yang belum terjadi adalah, usulan agar Brigjend
Bedjo ini bisa dimasukkan dalam daftar pahlawan nasional sama seperti
Jenderal Ahmad Yani dan pejuang lainnya. Keluarganya sempat menyatakan
hal ini kepada pemerintah daerah kota Medan, namun persyaratan tokoh
bisa dijadikan pahlawan nasional adalah harus melewati seminar
nasional.
“Syarat seorang tokoh untuk dijadikan pahlawan nasional
adalah lewat seminar nasional, dan dananya tidak sedikit mencapai
ratusan juta rupiah. Nah, itulah yang tidak dimiliki oleh keluarga
Bedjo saat ini,” kata Dr phil Ichwan Azhari, dari Pusat Studi Sejarah
dan Ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas negeri Medan (Unimed).
Soal
sosok dan jasa Bedjo sendiri dalam membela bangsa ini dari upaya
rongrongan bangsa Belanda dan Inggris awal-awal kemerdekaan dulu tidak
usah didebat lagi. Catatan sejarah perjuangan kemerdekaan di Medan sudah
menggores tinta emas tentang sepak terjangnya. Bahkan Wakil Presiden
RI Mohammad Hatta yang pada masa itu juga menjabat sebagai Wakil
Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, ternyata juga mengagumi
perjuangannya.
Hal ini terbukti dari adanya surat pribadinya
kepada Mayor Bedjo tertanggal 12 September 1947. Katanya, Hatta sangat
berkenan memberikan ucapan berupa surat pujian dan penghargaan atas
jasa-jasa Bedjo bersama pasukannya dalam mengatasi segala kesulitan
sebagai akibat penyerbuan Belanda dan kelakuan sewenang-wenang terhadap
negara dan rakyat Indonesia. Saat itu, Mohammad Hatta sedang berdiam
di Bukit Tinggi.
“Aku gembira bahwa Mayor Bedjo berada di Padang
Sidempuan, untuk menghalau pasukan Belanda yang mencoba masuk ke daerah
barat Sumut,” tulisnya dalam surat itu.
Dari tulisan tersebut
tampaklah jelas bahwa harapan negara yang pada ketika itu sedang berada
di ambang pintu agresi militer Belanda yang kedua, khusus untuk daerah
Sumut bertumpu sepenuhnya ke pundak Mayor Bedjo dan pasukannya. Dan
iapun tidak menyia-nyiakan kepercayaan dan amanat tersebut. Dengan
segenap semangat mempertahankan kemerdekaan Bedjo dan pasukannya terus
bertempur hingga ke ujung Barat Sumut, kota Sibolga.
Setelah
pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949,
pasukan Bedjo dengan kekuatan satu batalyon dipindahkan ke Jawa Barat,
guna menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) yang menolak pembentukan RIS dan hendak melakukan makar.
Sekitar tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke mabes Angkatan Darat
diperbantukan pada Asisten-1 dengan pangkat Letnan Kolonel pada tahun
1957. Dari sana ia lalu memimpin “Pasukan Lambung” di Pekan Baru untuk
penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sempat
juga mengikuti Pendidikan Staf Komando di Bandung.
Di tahun
1960-an setelah beberapa tahun berpangkat Kolonel, ia memasuki masa
pensiun. Selama 5 tahun ia sempat duduk sebagai anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu tahun 1971. Usai melanglang dalam
medan pertempuran dan politik, Sang Harimau Sumatra akhirnya menemui
sang Khalik pada 28 Mei 1984 karena sakit komplikasi. Ia pun dikebumikan
di Taman Makam Pahlawan. (bersambung)
Brigjend Bedjo, Pejuang yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (4-Habis)
Sosok Pemberani yang Diteladani Para Prajurit
Nama
Brigjend Bedjo bagi sejumlah veteran Kemerdekaan RI bukanlah hal yang
biasa. Sejumlah petinggi militer Indonesia memiliki kesan tersendiri
bagi pejuang yang terkenal pemberani ini. Di antaranya Kolonel AE
Kawilarang dan mantan Wapres RI, Tri Sutrisno. Seperti apa kisah
kesannya?
Diana Saragih-Medan
Sosok Bedjo adalah pejuang
yang banyak dikenal orang di kalangan militer. Sewaktu ia dalam keadaan
sakit di Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta, banyak teman-teman
seperjuangan yang datang berkunjung. Antara lain Mayjen AE Manihuruk,
Mayjend Richardo Siahaan, Kolonel Haji Hasbullah, Drs Azhari, Brigjend
Mardjans Saragih, Gazali Ibrahim dan lainnya. Dan ketika tanggal 28 Mei
1984 Pak Bedjo tutup usia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata Jakarta, yang bertindak sebagai komandan upacara penguburannya
adalah Letnan Jenderal Purnawirawan Achmad Tahir, Menteri Pariwisata
Pos dan Telekomunikasi Republik Indonesia kala itu.
Selanjutnya
pada peringatan 40 hari wafatnya Pak Bedjo, hadir dan menyampaikan
kata-kata duka dan penghargaan mantan Gubernur Provinsi Sumatera Timur
yang pertama dan terakhir, Mr T Mohammad Hasan, dan bekas Gubernur
pertama Sumut Mr SM Amin (Krieng Raba Nasution). Kata-kata kenangan
kepada almarhum keluar dengan jujur dan lugas di hadapan para tamu
waktu itu, termasuk di depan istri almarhum, Saniyem dan keluarganya.
Bedjo,
Sang Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan Indonesia meninggalkan
banyak kesan bagi rekan seperjuangannya dulu. Seperti yang dituturkan
oleh Mayjend Rachmat Hidayat, dimana pada saat perang kemerdekaan RI
pasca-Proklamasi, Pak Bedjo menjadi Panglima Tentara Territorium
Sumatera (PTTS). “Waktu saya memasuki daerah Si Bedjo, maaf maksud saya
Pak Bedjo, karena waktu itu demikian saya menyebutnya, saya merasa
kagum sekali,” katanya.
“Pak Bedjo rupanya sudah berhasil
menciptakan perjuangan rakyat semesta di daerahnya. Tegasnya, rakyat
dan TNI sudah bersatu di Sumut, ibarat ikan dengan air dan seperti
lepat dengan daun. Sama-sama memikul beban tanggung jawab
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal itu memang sangat saya kagumi
sebagai sebuah prestasi yang baik,” sambungnya.
Hal yang sama
juga dilontarkan Kolonel AE Kawilarang, yang pada waktu perang
Kemerdekaan RI pasca-Proklamasi bertindak sebagai Panglima Tentara
Territorium VII meliputi Sumut dan Aceh. Ia meyakini bahwa perlawanan
dan pertahanan Indonesia wilayah Sumut sudah dipersiapkan Bedjo dalam
Sektor-I Sub Territorium VII. Terutama dalam menertibkan pasukan liar
yang muncul pasca-hengkangnya Jepang dari bumi Indonesia termasuk
Sumut.
“Justru itu saya merasa tidak perlu mengadakan inspeksi di
daerah tersebut. Karena itulah maka Kepala Staf Kapten Ibrahim Adjie
saja yang bertugas di daerah Pak Bedjo,” tuturnya.
Mantan Wakil
Gubernur DKI Jakarta Raya, Brigjend HKI Chourmain juga memiliki kesan
khusus kepada sosok Pak Bedjo. Suatu hari pada masa perang kemerdekaan
RI pasca Proklamasi, dalam perjalanan tugas dari Jogyakarta ke Aceh, ia
bertemu dengan Bedjo di beberapa titik lokasi. Seperti di Kurinci,
Batusangkar, daerah Lintau, Payakumbuh, Halaban, Rao (Sumatera Barat)
kemudian di daerah Tapanuli. Selain itu ia juga melihat pasukan Bedjo
di mulai dari Kotanopan, Penyabungan, Sihepeng yang merupakan tempat
kedudukan Markas Besar Pak Bedjo, juga langsung ke garis paling depan
yaitu di Huraba daerah Padang Sidimpuan, yang sekarang terkenal dengan
Benteng Huraba, pun ia melihat pasukan Pak Bedjo. Brigjend HKI
Chourmain sangat terkesan dengan wilayah juang Bedjo yang bahkan
mencapai sebagian daerah Riau.
Namun rasa kagumnya dengan sosok
Bedjo bukan hanya di situ. Saat berjalan melakukan patroli, malang bagi
Chourmin. Setiba di Sosopan, dia dan pasukannya diperiksa dan ditahan
oleh pasukan liar yang menamakan dirinya Barisan Harimau Liar di bawah
pimpinan AE Simarmata. Untung di sekitar daerah itu ada pasukan Pak
Bedjo yang sedang bersiap-siap untuk menertibkan pasukan liar itu.
Mengetahui bahwa Chourmin sudah ditahan Barisan Harimau Liar itu, maka
pasukan pimpinan Bedjo tersebut berkirim surat kepadanya. Caranya,
dengan menempatkan surat kecil tersebut dalam sebelah tempurung kelapa
yang dihanyutkan secara menghilir di sungai tempat ia mandi di bawah
pengawasan prajurit Barisan Harimau Liar tadi.
“Surat itu lalu
saya baca, isinya mengatakan bahwa saya harus segera melarikan diri
karena Simarmata sangat mencurigai saya bahwa pasukannya akan diketahui
pusat soal keberadaan dan kekuatannya jika saya lepas. Anak buah Kang
Bedjo itu bilang bahwa saya akan dibunuh,” tuturnya.
Melihat bahwa
yang mengirim surat itu adalah anak buah Pak Bedjo yang kala itu
berpangkat Mayor, maka HKI Chourmin yakin atas kebenarannya. Seketika
itu juga begitu ada kesempatan, dia langsung melarikan diri, tanpa
menunggu besok pagi. “Dengan demikian, saya berhutang nyawa kepada Kang
Bedjo,” kenangnya.
Selain Brigjend HKI Chourmin, Kolonel AE
Kawilarang, atau Mayjend Rachmat Hidayat yang punya kesan dan
pengalaman sendiri dengan sosok Pak Bedjo, mantan Wapres RI era
Soeharto yang sempat menjabat sebagai Pangdam Jaya, Mayjend Tri
Sutrisno juga memiliki kesan tersendiri dengan beliau. Secara pribadi
dia memang belum pernah berhubungan langsung dengan sang pejuang
Kemerdekaan RI yang dijuluki Harimau Sumatera itu. Namun dia mengaku
sangat mengagumi sosoknya.
Perjuangan dan kepemimpinan Pak Bedjo
di Sumatera Utara pada waktu perang kemerdekaan banyak dia ketahui,
terutama dari teman-teman tentara yang berasal dari sana dan dari
buku-buku sejarah, surat kabar dan majalah yang mengulas tentang sepak
terjang pasukannya melawan Belanda dan pasukan pemberontakan.
“Terus
terang saya merasa kagum sekali. Keberanian atas dasar jiwa patriotik,
mampu membawa pasukannya untuk bertempur dengan musuh hingga ke luar
Provinsi Sumut. Banyak pengalaman Pak Bedjo yang harus kami teladani,”
pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar