Kamis, 11 Juli 2013

Bedjo The Tiger of Sumatra

Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (1)
Bekas Montir yang Dijuluki Harimau Sumatera
Ribuan warga kota Medan setiap harinya melintasi jalan yang diberi nama sama dengan namanya, Jalan Brigjend Bedjo. Namun tidak banyak yang kenal siapa dia dan apa jasanya kepada kemerdekaan Indonesia. Pria Pujakesuma ini lahir di Medan namun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Seperti apa sepak terjangnya?
Diana Saragih-Medan

Suasana jembatan layang Pulo Brayan tidak pernah sepi dari kendaraan yang lalu lalang. Jembatan yang dibangun sejak 1992 dan selesai pada 2003 itu merupakan jalur yang menghubungkan dua jalan yakni Jalan Pertempuran dan Jalan Brigjend Bedjo di Kelurahan Pulo Brayan.
Tidak banyak warga generasi zaman ini di kawasan itu yang tahu bahwa dua nama jalan tersebut berhubungan dengan peperangan militer pada masa perang kemerdekaan. Jalan yang dipisah oleh persimpangan Pulo Brayan ini memang merupakan salah satu jalur pertempuran dari Perang Medan Area pada 1947 lalu. Namun tidak banyak warga yang mengetahui sejarah itu dan siapa sosok Brigjend Bedjo, yang kemudian diabadikan namanya menjadi salah satu jalan di Kecamatan Medan Timur itu.
“Dulu nama Jalan Brigjend Bedjo adalah Jalan Cemara, karena di sini dulunya banyak sekali pohon Cemara. Tapi sejak pertengahan 1990-an namanya diganti,” kata Herlina Purba (57), salah satu warga Jalan Brigjend Bedjo Medan.
Saat ditanya koran ini apakah dia mengenal sosok Brigjend Bedjo, perempuan yang sejak tahun 1979 tinggal di daerah itu bersama keluarganya mengaku tidak kenal siapa Brigjend Bedjo, dan mengapa jalan Brigjend Bedjo tadi diletak di sana. Tidak pernah ada sosialisasi nama jalan oleh pejabat setempat, tahu-tahu dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka alamat Jalan Cemara sudah berganti bernama Jalan Kolonel Bedjo dan belakangan menjadi Brigjend Bedjo.
Hal ini cukup dimaklumi, sebab tidak banyak media yang memaparkan sosok pejuang kota yang kemudian dikenalkan dan diabadikan melalui nama jalan. Setelah ditelusuri melalui sejumlah narasumber dan pustaka barulah diketahui siapa sosok Brigjend Bedjo ini. Dia adalah putra Jawa kelahiran Sumatera, seorang pejuang perang kemerdekaan yang awal keikutsertaan dirinya dalam pasukan militer tidak diawali dari pendidikan kemiliteran sama sekali.
Beberapa hari mencoba menelusuri jejak Brigjend Bedjo, koran ini akhirnya menemui sejarawan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Dr phil Ichwan Azhari. Dari dialah kemudian diketahui bahwa Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed mengoleksi buku biografi Brigjend Bedjo karangan Edisaputra yang diterbitkan Yayasan Bina Satria-45. Buku itu diterbitkan pada 1985, setahun setelah Brigjend Bedjo wafat. Tepatnya pada 28 Mei 1984 lalu.
Siapakah Brigjend Bedjo?
Bedjo dilahirkan pada 10 Desember 1919 di sebuah kampung kecil di kawasan Medan Timur bernama Tanjung Mulia. Ayahnya bernama Sattar, berasal dari daerah Gunung Jeruk Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dengan demikian ia adalah warga Medan putra Jawa kelahiran Sumatera (pujakesuma).
Setelah tamat dari melanjutkan sekolah desa, Bedjo yang bercita-cita ingin menjadi ahli teknik melanjutkan sekolah ke Ambach School di Medan, dan sore harinya belajar di Perguruan Agama Islam Aljamiyatul Wasliyah, di Pulo Brayan. Setelah menamatkan sekolahnya iapun bekerja pada perusahaan bengkel milik Belanda sebagai tenaga montir.
Begitu Belanda berhasil diusir oleh Jepang, Bedjopun berganti majikan, Jepang. Di samping menjadi montir di bengkel Jepang, Bedjo juga membuka bengkel kecil di rumah ibunya di Jalan Amplas, Medan. Khususnya membuat cangkul, rantang, dan sekrup-sekrup. Tapi beakangan, bengkel itupun kemudian berfungsi ganda. Yakni turut pula menjadi markas gelap gerakan antifasis yang disebar lewat ceramah dan diskusi dengan sejumlah tokoh pemuda seperti Slamat Ginting dan Liberty Malau, yang juga merupakan bagian dari pasukan bersenjata di Sumut. Saat itu Bedjo belum masuk dunia militer.
“Awal perjalanan karirnya di militer adalah tanpa sengaja. Saat Belanda terdesak oleh kedatangan pasukan Jepang, warga pribumi dipaksa masuk milisi oleh Belanda. Namun keahlian militer yang dipelajarinya kemudian malah ia pakai untuk menghabisi Belanda. Saat itu warga pribumi mendapat bantuan militer dari sisa Jepang,” kata Dr phil Ichwan.
Pertama sekali Bedjo merintis rasa nasionalisme dalam dunia keprajuritan, adalah ketika Barisan Pemuda Indonesia bentukan tokoh pemuda Medan, Soegondho, membuat panitia besar Rapat Umum Kemerdekaan RI di Medan. Yakni pembacaan teks Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945, yang baru diketahui warga Sumut sebulan kemudian. Pada 1 Oktober 1945 di Lapangan Merdeka Medan, ribuan warga Sumut berkumpul untuk memekikkan kemerdekaannya. Saat itu Gubernur Sumatra Timur, Mr T Muhammad Hasan yang memimpin rapat. Nah, Bedjo dan ratusan pemuda lainnya mengambil peran sebagai pasukan pengaman momen bersejarah itu. Karena diduga kuat ada pihak-pihak asing yang akan mengacaukan perhelatan akbar itu. Terbukti, dua buah granat aktif berhasil disita dari tangan warga pengkhianat saat akan melaksanakan aksinya.
Perjalanan militer Bedjo baru mulai memasuki tahap pertempuran yang sesungguhnya adalah ketika pasukan asing kembali mendarat di Medan. Kala itu warga kota dihadapkan kepada pasukan NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang diboncengi Inggris untuk menguasai lagi sejumlah daerah Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI termasuk daerah Sumatera Timur. Saat itu, Bedjo mulai masuk dalam sebuah pasukan milisi yang dipersenjatai dari hasil jarahan gudang senjata Jepang dulu.
Perang dahsyat dan bertubi-tubi dilalui pasukan Bedjo. Dengan merampas gudang senjata dan makanan Jepang, termasuk hasil perkebunan seperti karet dan tembakau yang saat itu sangat berdaya jual tinggi, pasukan Bedjo mendapat persediaan logistik. Meskipun demikian, tentu saja perbandingan persenjataan dan daya tahan antara pasukan Belanda dan Indonesia sangat jauh. Namun tekad ‘sekali merdeka tetap merdeka’ menjadi pekik dan motivasi untuk terus melawan dari penjajahan.
Bedjo dan sejumlah pasukan yang terbentuk di bagian-bagian wilayah, terus melakukan adu senjata dengan pasukan musuh. Namun yang paling terkenal-karena akhirnya mampu memukul mundur pasukan NICA yang datang dari pelabuhan Belawan- adalah upaya pasukan Laskar Rakyat Medan Area. Menurut Dr Ichwan, Perang Medan Area merupakan salah satu mata rantai peristiwa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, yang telah terjadi di beberapa tempat dalam lingkungan wilayah Indonesia. Antara lain Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, Palagan Ambarawa di Jawa Tengah, Desember 1945, Bandung Lautan Api di Jawa Barat, Maret 1946, Peristiwa Merah Putih di Manado 14 Februari 1946.
Nah, dalam perang ini Bedjo, yang sudah berpangkat Mayor, adalah salah satu pemimpin pasukan pada Perang Medan Area. Serangan Umum Laskar Rakyat Medan Area yang terjadi pada 27 Oktober – 3 Nopember 1946, berhasil menguasai setengah lebih wilayah Kota Medan dari pendudukan Sekutu yang baru menang Perang Dunia ke-II, mereka merapat melalui pelabuhan Belawan sejak tanggal 4 Oktober 1945. Kala itu pasukan NICA dipimpin Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly.
“Karena kegigihan dan kenekatannya dalam memerangi Belanda, Brigjend Bedjo dijuluki Harimau Sumatera. Bahkan warga Tapanuli menyebutnya Si Tangan Besi,” tambah Ichwan.
Betapa tidak, Bedjo mengalami pertempuran bersama pasukannya dari kawasan Timur hingga Barat Sumatra Utara. Pelajaran yang dapat ditarik dari pengalaman bersejarah berupa kinerja Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area ini adalah bahwa sumber kekuatan pertahanan suatu bangsa yang sedang berevolusi melawan kaum penjajah yang bersungguh-sungguh hendak berkuasa kembali, terletak pada persatuan seluruh rakyat yang berjuang dengan semangat yang berkobar-kobar serta rela memberikan korban-korban yang paling fantastis.
“Brigjend Bedjo yang awalnya bukan militer akhirnya dengan semangat nasionalisme menjadi salah satu pejuang paling berpengaruh dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan,” pungkas Ichwan. (bersambung)

Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (2)
Selamatkan Nyawa Menteri, Jadi Inspirasi Film Nagabonar
Dua catatan penting lain menyangkut sosok Bedjo adalah ketangguhannya memimpin pasukan yang berhasil menyelamatkan seorang Menteri dan membunuh seorang pemimpin pasukan Belanda bernama Jenderal Spoor. Siapa dan bagaimana ceritanya?
Diana Saragih-Medan

Tahun 1947. Suasana di Kawasan Helvetia dan Titi Papan di kota Medan cukup menegangkan. Pasukan Belanda yang kembali datang untuk menguasai asetnya di kawasan Sumatra Timur pasca hengkangnya Jepang dari Bumi Indonesia, mendesak pasukan Indonesia untuk angkat senjata lagi. Padahal dua tahun lalu, Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya. Dalam masa menjelang penentuan garis demarkasi dengan Belanda di Medan Area tahun 1947, pasukan-pasukan bersenjata dari Aceh yang terdiri dari Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang tergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) dikerahkan ke Medan. Waktu itu dalam pasukan RIMA itu ada Bustanil Arifin, seorang perwira militer yang saat itu berpangkat Sersan Mayor. Dia adalah sosok yang kemudian diangkat menjadi Menteri Koperasi RI pada era 1980-an.
Waktu itu kompi Bustanil bertugas menggempur musuh dari Pasar 1, yang terletak di antara Kelambir V Helvetia dan Klumpang Titi Papan. Komandan kompi RIMA pada waktu itu kebetulan sakit, maka Bustanil pun ditugaskan menggantikannya. Ketika itulah terjadi pertempuran yang menegangkan tadi. Kompinya terkepung pasukan musuh dan terdesak untuk bersikap memilih, menyerah atau hancur di tangan lawan. Sudah 17 prajurit yang tewas.
Bustanil pun tidak kehilangan akal. Ia lalu mengutus seorang kurir untuk meminta bantuan kepada Bedjo yang kedudukan pasukannya, yakni Batalyon/Napindo Medan Utara, bersebelahan dengan kompinya. Pasukan Bedjo merespon cepat panggilan itu. Mereka kemudian langsung maju menggempur tentara Inggris dan Belanda lewat pasukan NICA-nya. Lepaslah bahaya maut yang sudah menunggu tadinya.
“Saya berhutang nyawa kepada Pak Bedjo,” kata Bustanil, yang disampaikannya saat pertemuan silaturahim para pejuang kemerdekaan eks TNI Stoottoep Brigade ‘B’ Komandemen Sumatra di Jakarta pada 15 Mei 1983 lalu. Pengalamannya itu, diselamatkan oleh Bedjo, ia kenang hingga berpuluh tahun kemudian.
Sosok Bedjo pun dikenal oleh eks TNI kemerdekaan, karena pasukannya pernah berhasil menembak mati seorang jenderal Belanda bernama Jenderal Spoor. Ketika itu, pasukan Belanda terus mendesak pasukan Indonesia hingga ke wilayah barat Sumatra Utara. Pasukan Bedjo yang dikenal sebagai pasukan Selikur, berhadapan dengan konvoi pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Spoor. Pada 23 Mei 1949, konvoi itu kemudian diserang oleh pasukan Selikur di Bukit Simagomago, kota Padang Sidempuan. Banyak pasukan Belanda yang tewas, termasuk Jenderal Spoor. Namun. sempat beredar berita sumir bahwa kematian Jenderal Spoor adalah akibat serangan jantung. Namun diyakni Bedjo bahwa Spoor mati karena luka-luka serius yang dialaminya, dan isu sakit jantung itu digunakan Belanda untuk meredam euforia kemenangan di kalangan pasukan pribumi.
Belakangan, nama Mayor Bedjo semakin dikenal karena kegigihannya. Januari 1948, Bedjo memimpin perundingan garis demarkasi dengan Belanda di Prapat. Namun pertemuan itu berakhir tanpa kesepakatan apapun, sebaliknya justru berakhir perang. Belanda kembali menyerbu pasukan Bedjo, hingga ia terdesak dan sempat disangka tewas dalam pertempuran itu. Namun sangkaan itu tinggal ispan jempol belaka, sebab Mayor Bedjo masih hidup dan ikut berperang bersama pasukannya di beberapa daerah lain di Sumut.
Melihat itu, sebagian masyarakat saat itu meyakini bahwa Bedjo memiliki ilmu menghilang dan tahan peluru. Atas pandangan ini, Bedjo dalam biografinya sempat berkata bahwa nyawanya masih dilindungi Tuhan, makanya ia masih sempat menghirup udara kemerdekaan selama lebih kurang 40 tahun kemudian.
Nah, pertanyaan lain tentang sosok Bedjo ini adalah mengenai kebenaran bahwa Bedjo merupakan sosok Nagabonar dari Sumatra Timur yang muncul dalam film tersebut. Terkait hal itu, Dr phil Ichwan sepakat atas dugaan itu. Namun, tokoh Nagabonar adalah gabungan beberapa tokoh pahlawan kemerdekaan periode 1948-1949 yang berhasil diramu oleh sang penulis skenario, Asrul Sani. Untuk sosok Nagabonar, Asrul Sani mengambil latar belakang Bedjo yang tidak memiliki basis pendidikan militer namun bisa memegang pangkat tinggi tanpa sepengetahuan tentara pusat. Makanya dalam satu adegan ada upaya pusat melakukan klarifikasi pangkat terhadap petinggi militer di daerah, namun mendapat bantahan dari Nagabonar.
“Karena memang pada masa itu ada istilah bagi-bagi pangkat, seperti yang ada dalam film Nagabonar itu. Namun cerdasnya film itu terletak dari kemampuan sang pembuat film mengangkat karakter pejuang daerah ke kancah nasional,” tukas Ichwan. (bersambung)

Brigjend Bedjo, Pejuang Yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (3)
Hatta Kirim Surat Pujian dan Penghargaan Pribadi
Jasa-jasa Bedjo sebagai pemimpin pasukan kemerdekaan Indonesia di Sumatra Utara tidak bisa dipungkiri lagi. Selain menyelamatkan seorang perwira yang kemudian menjadi menteri, Bedjo juga berhasil memimpin pasukan untuk menggempur Belanda dan hal tersebut mendapat apresiasi yang tinggi dari pejabat pemerintahan pusat kala itu. Meskipun namanya diabadikan menjadi nama jalan di kota Medan, namun usulan menjadikannya pahlawan nasional belum kesampaian. Kenapa?
Diana Saragih-Medan

Mantan presiden Amerika Serikat yang juga merupakan pahlawan kemerdekaan mereka, Abraham Lincoln pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghargai jasa pahlawan bangsanya. Hal ini pulalah yang mendasari eks pejuang dan pemuka masyarakat asal Sumatra Utara di Jakarta untuk mengabadikan nama Bedjo, menjadi nama satu jalan di kota Medan.
Eks pejuang dan pemuka itu antara lain Mr T Muhammad Hasan (mantan Gubernur Sumatra Timur), HM Said (tokoh pers Sumut), Mayjen AE Manihuruk, Letjen Hidayat (eks Panglima Komando Sumatra), Slamat Ginting (eks Komandan Sektor III Komandemen Sumatra), dan Mayjen Richardo Siahaan (eks Komandan Komando Medan Area). Mereka mengirim surat kepada DPRD Kota Medan pada 10 Agustus 1984 yang ditembuskan kepada Menteri Dalam Negeri dan Panglima Kowilhan I serta Gubsu, agar nama Bedjo yang pada akhir hayatnya berpangkat Kolonel TNI Purnawirawan, menjadi nama jalan. Hal ini dilakukan agar jasa dan pengabdiannya kepada tanah air bisa selalu dikenang. Usulan ini pun disetujui, dan hingga kini Jalan Brigjend Bedjo masih ditemukan di kota Medan.
Satu hal yang belum terjadi adalah, usulan agar Brigjend Bedjo ini bisa dimasukkan dalam daftar pahlawan nasional sama seperti Jenderal Ahmad Yani dan pejuang lainnya. Keluarganya sempat menyatakan hal ini kepada pemerintah daerah kota Medan, namun persyaratan tokoh bisa dijadikan pahlawan nasional adalah harus melewati seminar nasional.
“Syarat seorang tokoh untuk dijadikan pahlawan nasional adalah lewat seminar nasional, dan dananya tidak sedikit mencapai ratusan juta rupiah. Nah, itulah yang tidak dimiliki oleh keluarga Bedjo saat ini,” kata Dr phil Ichwan Azhari, dari Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas negeri Medan (Unimed).
Soal sosok dan jasa Bedjo sendiri dalam membela bangsa ini dari upaya rongrongan bangsa Belanda dan Inggris awal-awal kemerdekaan dulu tidak usah didebat lagi. Catatan sejarah perjuangan kemerdekaan di Medan sudah menggores tinta emas tentang sepak terjangnya. Bahkan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta yang pada masa itu juga menjabat sebagai Wakil Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, ternyata juga mengagumi perjuangannya.
Hal ini terbukti dari adanya surat pribadinya kepada Mayor Bedjo tertanggal 12 September 1947. Katanya, Hatta sangat berkenan memberikan ucapan berupa surat pujian dan penghargaan atas jasa-jasa Bedjo bersama pasukannya dalam mengatasi segala kesulitan sebagai akibat penyerbuan Belanda dan kelakuan sewenang-wenang terhadap negara dan rakyat Indonesia. Saat itu, Mohammad Hatta sedang berdiam di Bukit Tinggi.
“Aku gembira bahwa Mayor Bedjo berada di Padang Sidempuan, untuk menghalau pasukan Belanda yang mencoba masuk ke daerah barat Sumut,” tulisnya dalam surat itu.
Dari tulisan tersebut tampaklah jelas bahwa harapan negara yang pada ketika itu sedang berada di ambang pintu agresi militer Belanda yang kedua, khusus untuk daerah Sumut bertumpu sepenuhnya ke pundak Mayor Bedjo dan pasukannya. Dan iapun tidak menyia-nyiakan kepercayaan dan amanat tersebut. Dengan segenap semangat mempertahankan kemerdekaan Bedjo dan pasukannya terus bertempur hingga ke ujung Barat Sumut, kota Sibolga.
Setelah pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949, pasukan Bedjo dengan kekuatan satu batalyon dipindahkan ke Jawa Barat, guna menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang menolak pembentukan RIS dan hendak melakukan makar. Sekitar tiga tahun kemudian ia dipindahkan ke mabes Angkatan Darat diperbantukan pada Asisten-1 dengan pangkat Letnan Kolonel pada tahun 1957. Dari sana ia lalu memimpin “Pasukan Lambung” di Pekan Baru untuk penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sempat juga mengikuti Pendidikan Staf Komando di Bandung.
Di tahun 1960-an setelah beberapa tahun berpangkat Kolonel, ia memasuki masa pensiun. Selama 5 tahun ia sempat duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu tahun 1971. Usai melanglang dalam medan pertempuran dan politik, Sang Harimau Sumatra akhirnya menemui sang Khalik pada 28 Mei 1984 karena sakit komplikasi. Ia pun dikebumikan di Taman Makam Pahlawan. (bersambung)

Brigjend Bedjo, Pejuang yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan (4-Habis)
Sosok Pemberani yang Diteladani Para Prajurit
Nama Brigjend Bedjo bagi sejumlah veteran Kemerdekaan RI bukanlah hal yang biasa. Sejumlah petinggi militer Indonesia memiliki kesan tersendiri bagi pejuang yang terkenal pemberani ini. Di antaranya Kolonel AE Kawilarang dan mantan Wapres RI, Tri Sutrisno. Seperti apa kisah kesannya?
Diana Saragih-Medan
Sosok Bedjo adalah pejuang yang banyak dikenal orang di kalangan militer. Sewaktu ia dalam keadaan sakit di Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta, banyak teman-teman seperjuangan yang datang berkunjung. Antara lain Mayjen AE Manihuruk, Mayjend Richardo Siahaan, Kolonel Haji Hasbullah, Drs Azhari, Brigjend Mardjans Saragih, Gazali Ibrahim dan lainnya. Dan ketika tanggal 28 Mei 1984 Pak Bedjo tutup usia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, yang bertindak sebagai komandan upacara penguburannya adalah Letnan Jenderal Purnawirawan Achmad Tahir, Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Republik Indonesia kala itu.
Selanjutnya pada peringatan 40 hari wafatnya Pak Bedjo, hadir dan menyampaikan kata-kata duka dan penghargaan mantan Gubernur Provinsi Sumatera Timur yang pertama dan terakhir, Mr T Mohammad Hasan, dan bekas Gubernur pertama Sumut Mr SM Amin (Krieng Raba Nasution). Kata-kata kenangan kepada almarhum keluar dengan jujur dan lugas di hadapan para tamu waktu itu, termasuk di depan istri almarhum, Saniyem dan keluarganya.
Bedjo, Sang Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan Indonesia meninggalkan banyak kesan bagi rekan seperjuangannya dulu. Seperti yang dituturkan oleh Mayjend Rachmat Hidayat, dimana pada saat perang kemerdekaan RI pasca-Proklamasi, Pak Bedjo menjadi Panglima Tentara Territorium Sumatera (PTTS). “Waktu saya memasuki daerah Si Bedjo, maaf maksud saya Pak Bedjo, karena waktu itu demikian saya menyebutnya, saya merasa kagum sekali,” katanya.
“Pak Bedjo rupanya sudah berhasil menciptakan perjuangan rakyat semesta di daerahnya. Tegasnya, rakyat dan TNI sudah bersatu di Sumut, ibarat ikan dengan air dan seperti lepat dengan daun. Sama-sama memikul beban tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hal itu memang sangat saya kagumi sebagai sebuah prestasi yang baik,” sambungnya.
Hal yang sama juga dilontarkan Kolonel AE Kawilarang, yang pada waktu perang Kemerdekaan RI pasca-Proklamasi bertindak sebagai Panglima Tentara Territorium VII meliputi Sumut dan Aceh. Ia meyakini bahwa perlawanan dan pertahanan Indonesia wilayah Sumut sudah dipersiapkan Bedjo dalam Sektor-I Sub Territorium VII. Terutama dalam menertibkan pasukan liar yang muncul pasca-hengkangnya Jepang dari bumi Indonesia termasuk Sumut.
“Justru itu saya merasa tidak perlu mengadakan inspeksi di daerah tersebut. Karena itulah maka Kepala Staf Kapten Ibrahim Adjie saja yang bertugas di daerah Pak Bedjo,” tuturnya.
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Raya, Brigjend HKI Chourmain juga memiliki kesan khusus kepada sosok Pak Bedjo. Suatu hari pada masa perang kemerdekaan RI pasca Proklamasi, dalam perjalanan tugas dari Jogyakarta ke Aceh, ia bertemu dengan Bedjo di beberapa titik lokasi. Seperti di Kurinci, Batusangkar, daerah Lintau, Payakumbuh, Halaban, Rao (Sumatera Barat) kemudian di daerah Tapanuli. Selain itu ia juga melihat pasukan Bedjo di mulai dari Kotanopan, Penyabungan, Sihepeng yang merupakan tempat kedudukan Markas Besar Pak Bedjo, juga langsung ke garis paling depan yaitu di Huraba daerah Padang Sidimpuan, yang sekarang terkenal dengan Benteng Huraba, pun ia melihat pasukan Pak Bedjo. Brigjend HKI Chourmain sangat terkesan dengan wilayah juang Bedjo yang bahkan mencapai sebagian daerah Riau.
Namun rasa kagumnya dengan sosok Bedjo bukan hanya di situ. Saat berjalan melakukan patroli, malang bagi Chourmin. Setiba di Sosopan, dia dan pasukannya diperiksa dan ditahan oleh pasukan liar yang menamakan dirinya Barisan Harimau Liar di bawah pimpinan AE Simarmata. Untung di sekitar daerah itu ada pasukan Pak Bedjo yang sedang bersiap-siap untuk menertibkan pasukan liar itu. Mengetahui bahwa Chourmin sudah ditahan Barisan Harimau Liar itu, maka pasukan pimpinan Bedjo tersebut berkirim surat kepadanya. Caranya, dengan menempatkan surat kecil tersebut dalam sebelah tempurung kelapa yang dihanyutkan secara menghilir di sungai tempat ia mandi di bawah pengawasan prajurit Barisan Harimau Liar tadi.
“Surat itu lalu saya baca, isinya mengatakan bahwa saya harus segera melarikan diri karena Simarmata sangat mencurigai saya bahwa pasukannya akan diketahui pusat soal keberadaan dan kekuatannya jika saya lepas. Anak buah Kang Bedjo itu bilang bahwa saya akan dibunuh,” tuturnya.
Melihat bahwa yang mengirim surat itu adalah anak buah Pak Bedjo yang kala itu berpangkat Mayor, maka HKI Chourmin yakin atas kebenarannya. Seketika itu juga begitu ada kesempatan, dia langsung melarikan diri, tanpa menunggu besok pagi. “Dengan demikian, saya berhutang nyawa kepada Kang Bedjo,” kenangnya.
Selain Brigjend HKI Chourmin, Kolonel AE Kawilarang, atau Mayjend Rachmat Hidayat yang punya kesan dan pengalaman sendiri dengan sosok Pak Bedjo, mantan Wapres RI era Soeharto yang sempat menjabat sebagai Pangdam Jaya, Mayjend Tri Sutrisno juga memiliki kesan tersendiri dengan beliau. Secara pribadi dia memang belum pernah berhubungan langsung dengan sang pejuang Kemerdekaan RI yang dijuluki Harimau Sumatera itu. Namun dia mengaku sangat mengagumi sosoknya.
Perjuangan dan kepemimpinan Pak Bedjo di Sumatera Utara pada waktu perang kemerdekaan banyak dia ketahui, terutama dari teman-teman tentara yang berasal dari sana dan dari buku-buku sejarah, surat kabar dan majalah yang mengulas tentang sepak terjang pasukannya melawan Belanda dan pasukan pemberontakan.
“Terus terang saya merasa kagum sekali. Keberanian atas dasar jiwa patriotik, mampu membawa pasukannya untuk bertempur dengan musuh hingga ke luar Provinsi Sumut. Banyak pengalaman Pak Bedjo yang harus kami teladani,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar